HIDAYAH ITU PILIHAN ATAU DOKTRIN???
Secara syar’i, al-huda atau
al-hidâyah adalah mendapat petunjuk atau terbimbing pada Islam dan beriman
terhadapnya.
Di dalam al-Quran, kata hadâ dan
turunannya dinyatakan sebanyak 316 kali di 96 surat. Dari semua ayat itu bisa
disarikan, hidayah yang diberikan oleh Allah kepada manusia di dunia ada tiga
macam.
Pertama: Hidâyah al-Khalq
(hidayah penciptaan). Intinya, Allah telah menciptakan dalam diri manusia
adanya fitrah berupa gharîzah at-tadayyun (naluri beragama), kebutuhan dan pengakuan
kepada al-Khâliq; dan qâbiliyah (kesediaan) untuk cenderung pada kebaikan
maupun keburukan (QS al-Balad: 10 “dan
kami telah menunjukan kepadanya dua jalan (kebaikan dan keburukan)”; asy-Syams: 7-8 “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan
dan ketakwaannya”. Allah juga menciptakan akal atau kemampuan berpikir
untuk memahami dan membedakan yang baik dari yang buruk. Orang yang tidak
memperoleh hidayah jenis ini, yaitu orang yang tidak sempurna atau tidak waras
akalnya, tidak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.
Kedua: Hidâyah al-Irsyâd wa
al-Bayân (hidayah petunjuk/bimbingan dan penjelasan), yaitu berupa penjelasan,
petunjuk dan bimbingan yang diberikan Allah dengan risalah yang dibawa oleh
Rasul. Di dalamnya terdapat penjelasan tentang keimanan dan kekufuran, kebaikan
dan keburukan, ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk akan jalan hidup yang
diridhai Allah dan yang tidak, serta akibat dari masing-masingnya baik di dunia
maupun diakhirat. Di sinilah al-Quran disebut petunjuk dan Rasul adalah orang
yang memberi petunjuk (QS asy-Syura: 52
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu
wahyu (al-Qur'an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui
apakah Al Kitab (al-Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi
Kami menjadikan al-Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang
Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar
memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”; ar-Ra’d: 7 “Orang-orang yang
kafir berkata: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu tanda
(kebesaran) dari Tuhannya?" Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi
peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.”;
yaitu yang menyampaikan risalah, menjelaskannya dan menuntun serta membimbing
ke jalan Allah.
Ketiga: Hidâyah at-Tawfîq
(Hidayah Taufik). Tawfîq (taufik) kepada hidayah hanya berasal dari Allah Hidayah
taufik inilah yang dinafikan dari Rasul saw. QS al-Qashash: 56 “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi
petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada
orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau
menerima petunjuk.”. Taufik kepada hidayah itu adalah penyiapan sebab-sebab
hidayah untuk manusia. Taufik berkaitan dengan sebab-sebab hidayah, atau
sifat-sifat hidayah, yang jika seseorang menyifati diri dengannya maka ia akan
mendapat petunjuk (hidayah). Allah tidak memberikan taufiknya secara paksa
kepada manusia; melainkan ketika manusia sudah menerima hidâyah al-khalq, menggunakan
gharîzah tadayun-nya dan menggunakan akalnya; lalu sampai padanya hidâyah
al-irsyâd wa al-bayân melalui Rasul, pewaris Rasul, kaum Muslim atau sarana
lainnya; kemudian ia memahaminya dan menerima hujah risalah itu, maka Allah
akan memberinya taufik dan memudahkannya memahami hidayah dan mengambilnya dan
hidup dengannya. Allah SWT berfirman: Orang-orang
yang mencari petunjuk, Allah menambah mereka petunjuk dan memberi mereka
(balasan) ketakwaannya (QS Muhammad [47]: 17).
Orang-orang yang berjihad untuk
(mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami (QS al-‘Ankabut [29]: 69).
Ketika seseorang berusaha mencari
dan menjemput hidayah, Allah memberinya taufik sehingga ia mendapat hidayah.
Dalam hal ini, Allah SWT tidak memaksa seseorang untuk mendapat hidayah. Allah
juga tidak memaksa seseorang untuk sesat. Tidak ada orang yang dari sono-nya
ditakdirkan mendapat hidayah atau sebaliknya, tersesat.
Memang ada sejumlah ayat yang
menisbatkan hidayah dan kesesatan kepada Allah semata (misal: QS al-An’am [6]:
39, 125; al-A’raf [7]: 43; Yunus [10]: 35; ar-Ra’d [13]: 27; an-Nahl [16]: 93;
al-Kahfi [18]: 17; al-Qashash [28]: 56 dan Fathir [35]: 8). Redaksi ayat-ayat
ini maknanya jelas bahwa yang melakukan hidayah dan penyesatan adalah Allah,
bukan hamba. Ini artinya bahwa seorang hamba tidaklah mendapat petunjuk karena
dirinya sendiri melainkan jika Allah menunjukinya, dan sebaliknya jika Allah
menyesatkannya, ia tersesat.
Banyak ayat menyatakan bahwa
Allah memberikan pahala kepada orang yang mendapat petunjuk dan menjatuhkan
siksa kepada orang yang tersesat serta menghisab perbuatan manusia. Apabila
pelangsungan hidayah dan kesesatan dinisbatkan kepada Allah, artinya Allah yang
memaksa manusia untuk mendapat hidayah atau tersesat, lalu Allah menimpakan
siksa kepada orang yang tersesat dan menyiksa orang kafir, fasik, munafik dan
pelaku maksiyat. Ini jelas merupakan kezaliman. Mahasuci Allah dari yang
demikian, sekali-kali Dia tidaklah menzalimi hamba-Nya (QS 41: 17).
Dengan menghimpun semua ayat
jelaslah bahwa Allah sematalah yang menciptakan hidayah dan kesesatan.
Sebaliknya, hambalah yang menempuh ihtidâ’ (mencari petunjuk) sehingga ia
mendapat hidayah, dan hambalah yang menempuh idhlâl (menempuh kesesatan dan
penyesatan) sehingga ia tersesat dan bisa menyesatkan diri dan orang lain.
Seperti itulah kehendak dan
keinginan (masyî‘ah wa irâdah) Allah SWT dalam hal ini. Allah SWT berfirman:
Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada
siapa yang Dia kehendaki (QS an-Nahl [16]: 93)
Maksud ayat ini bukanlah bahwa
seseorang mendapat petunjuk karena paksaan dari Allah dan seseorang tersesat
karena paksaan dari Allah. Maksudnya bukanlah bahwa Allah memaksa seseorang
untuk sesat dan memaksa seseorang untuk mendapat petunjuk. Akan tetapi,
maknanya adalah bahwa menurut kehendak dan keinginan (masyî‘ah wa irâdah)
Allah, seseorang yang mencari petunjuk akan mendapat petunjuk dan siapa yang
menempuh kesesatan akan tersesat. Jadi orang mendapat petunjuk maupun tersesat,
semua itu sesuai dengan masyî‘ah wa irâdah Allah itu.
Jadi, Allah telah menciptakan
dalam diri manusia qâbiliyah (kesediaan atau kapasitas) untuk kebaikan maupun
keburukan. Allah juga telah menjelaskan jalan kebaikan atau jalan hidayah
maupun jalan keburukan atau jalan kesesatan (QS asy-Syams: 8; al-Balad: 10).
Lalu Allah membebaskan manusia untuk memilih jalan hidayah atau jalan kesesatan
itu (QS al-Kahfi: 29 “Dan katakanlah:
"Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman)
hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia
kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu
neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum,
niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang
paling jelek.”). Jika orang mencari dan menjemput hidayah, yaitu
mengupayakan sifat-sifat hidayah ada dalam dirinya atau memilih jalan hidayah,
maka Allah memberinya taufik sehingga ia mendapat hidayah dan Allah menambah
hidayah kepadanya. Sebaliknya, jika orang mencari dan menjemput kesesatan atau
memilih jalan kesesatan maka ia akan tersesat, Allah tidak memberinya taufik,
bahkan Allah akan menambah kesesatannya.
(QS Al-Qashash [28]: 56).Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi
petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada
orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau
menerima petunjuk. ( Anna Mujahidah Mumtazah sumber al waie karya ust Yahya A)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar