IRONI PELAYANAN KESEHATAN

IRONI PELAYANAN KESEHATAN
LOMBA MENULIS BLOG FPKR

Senin, 10 Juni 2013

72 % RAKYAT INDONESIA DUKUNG SYARIAH



72 % RAKYAT INDONESIA DUKUNG SYARIAH
Tepatnya 17 Agustus 1945, Indonesia merdeka (bebas dari penjajahan fisik). Terhitung hingga artikel ini ditulis, 67 tahun telah berlalu. Selama ini pula Indonesia menyelenggarakan pemilu sebanyak 10 kali. Dalam sejarah panjang ini sudahkah rakyat Indonesia merasa benar-benar merdeka? Ataukah merdeka hanya sekedar cita-cita perjuangan para pahlawan terdahulu? Dengan umur 67 tahun, idealnya bangsa ini telah banyak meraih impiannya. Segala potensi dan sumber daya telah dimiliki Indonesia, didukung oleh jumlah SDM yang tersebar di penjuru negeri. Namun fakta berbicara lain negeri ini belum merdeka dari kemiskinan, kebodohan, kerusakan moral dan keterbelakangan.
Pergantian rezim dari masa ke masa seakan memberikan hasil nihil. Mulai orde lama dengan komunismenya, orde baru dengan kapitalismenya, orde reformasi yang condong ke arah liberal. Ketiga masa ini menjadikan akal manusia melalui waki rakyat sebagai sumber hukum. Dalam sistem pemerintahan demokratik yang menempatkan rakyat sebagai pihak berdaulat telah menimbulkan nestapa modern. Diadopsinya sistem pemerintahan demokrasi yang berimplikasi logis kepada sekulerisme telah menimbulkan berbagai problematika. Mulai ekonomi, politik, kesehatan, pendidikan, dan lainnya.
A Sorokin menyebut dengan The Crisis of Our Age. Sayyed Hossen Nasser menyebut abad sekarang dengan istilah ‘Nestapa Manusia Modern’, Luis Leahy menyebut dengan ‘Kekosongan Rohani’. Gustave Jung mengomentari peradaban sekarang dengan ‘Gersang Psikologis’. Peter Berger menyatakan, bahwa masyarakat kapitalis selalu bercorak sekuler (memisahkan agama dari kehidupan).
Adapun masyarakat yang sekuler cenderung memarginalkan peran agama, bahkan ada kecenderungan untuk mereduksi agama menjadi subsistem yang tidak lagi berarti. Pembagian kekuasaan dengan alasan menghilangkan otoritarianisme terbukti telah menimbulkan dualisme kepemimpinan serta kaburnya batas wewenang masing-masing lembaga negara. Padahal, dengan adanya dualisme kepemimpinan akan menimbulkan kontraksi-kontraksi kekuasaan yang berakibat pada konflik elit politik. Konflik elit politik akan berbuntut pada dikorbankannya kepentingan-kepentingan publik dan terabaikannya urusan rakyat.
Ditempatkannya rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara, mengakibatkan munculnya aturan-aturan bias, kepentingan, dan ketidakmampuan memberikan jawaban tuntas serta mendasar atas problem manusia. Jika kita menengok sejarah, tercatat 13 abad lamanya Islam Berjaya. Selama itu pula aturan Allah yang menjadi sandaran, meski beberapa kurun waktu terdapat kesalahan penerapan (isaatut tatbiq). Dapat kita jumpai pula pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, meski hanya kurang lebih 2,5 tahun memerintah, zakat tercecer di jalan. Hal ini dikarenakan seluruh masyarakat tidak ada yang miskin. Kezuhudan sang khalifah juga begitu tinggi, bahkan tatkala keluarganya mengajak untuk membicarakan urusan keluarga, nyala lampu yang ia gunakan milik negara sekaligus dimatikan. Sehingga menyalakan lampu dengan minyak dari keluarga. Begitu besar kehati-hatian beliau.
Tepat tanggal 27 Rajab 583 H, Shalahuddin Al-Ayubi membebaskan bumi al-Quds dengan tanpa sedikitpun perlawanan dari kaum salibis dan mereka dibiarkan. Kondisi ini sangat bertolak belakang ketika kaum salibis menjarah al-Quds, banyak anak-anak, orang tua, perempuan yang dibantai. Rupanya, kaum kafir memendam rasa dendam membara untuk menghancurkan Islam. Hingga akhirnya, pada 28 Rajab 1342 H, bertepatan dengan 3 Maret 1924, seorang pengkhianat kaum Muslim, Mustafa Kemal at-Turk, meruntuhkan Khilafah Islamiyyah (Islamic Caliphate). Akibatnya, kaum Muslim ibarat ayam telah kehilangan induk.
Sungguh Rasul telah menyampaikan risalah kepada kita dalam sebuah hadist, Dari Nu’man bin Basyiir berkata: Suatu saat kami sedang duduk bersama Rasulullah SAW, dan Basyir adalah orang yang dapat menahan perkataan. Maka datang Abu Tsa’labah Al-Khasyani dan berkata:”Wahai Basyir bin Sad apakah engkau hafal tentang hadits Rasulullah SAW pada masalah kepemimpinan
Berkata Hudzaifah:” Saya hafal ungkapannya. Maka duduklah Abu Tsa’alabah, maka Hudzaifah berkata: Rasulullah SAW bersabda:” Kalian akan mengalami masa kenabian sampai Allah menghendaki kemudian Allah angkat (masa kenabian tersebut) jika Allah menghendakinya. Seterusnya masa khilafah dengan manhaj kenabian sampai Allah menghendaki, kemudian Allah mengangkatnya jika Allah menghendakinya. Seterusnya masa raja yang menggigit sampai Allah menghendakinya, kemudian Allah mengangkatnya jika Allah menghendakinya. Seterusnya masa raja diktator sampai Allah menghendakinya, kemudian Allah mengangkatnya jika Allah menghendakinya. Seterusnya masa khilafah dengan manhaj kenabian, kemudian diam”
Masa kenabian, khilafah manhaj kenabian yang pertama, masa raja menggigit sudah berlalu, kini menempati masa keempat yakni pemerintahan diktator, setelah ini tidak lain adalah masa kelima yaitu khilafah manhaj kenabian yang kedua. Jika kita cermati rezim diktator telah diambang kehancuran. Menurut Survey Pew Research Center 72% rakyat Indonesia dukung syariah. Di Suriah sudah bergema suara dan gerakan para mujahidin untuk menyerukan syariah Islam.
Allah berfirman: "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (TQS. An-Nur: 55).
Islam akan kembali berjaya sebagaimana janji Allah dan kabar gembira dari Rasulullah SAW. Dalam sistem Islam, kekuasaan ada di tangan rakyat. Kedaulatan berada di tangan syara’, artinya aturan yang digunakan bersumber dari Al Quran dan hadist Rasulullah SAW, bukan lagi buatan manusia melalui perwakilan. Kebijakan pemimpin (khalifah) bersandar pada aturan Allah SWT. Allahu A’lam

Pengirim:
Anna Mujahidah Mumtazah
Guru di Bojonegoro

Jumat, 07 Juni 2013

Jawab Soal Seputar Aurat Wanita terhadap Wanita

Jawab Soal Seputar Aurat Wanita terhadap Wanita

بسم الله الرحمن الرحيم
(Rangkaian Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim ‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Berbagai Pertanyaan di Akun Facebook Beliau)

Jawab Soal Seputar Aurat Wanita terhadap Wanita
Kepada Shadi Sunoqrot

Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Mohon penjelasan batasan aurat wanita terhadap wanita disertai dengan dalil syar’i dan penjelasan masalah tersebut secara penuh. Juga arah penarikan dalil untuk mereka yang mengatakan bahwa aurat wanita terhadap wanita adalah antara lutut dan pusar serta arah penarikan dalil mereka yang mengatakan bahwa aurat wanita terhadap wanita adalah tempat-tempat perhiasan semisal aurat wanita terhadap mahram.

Jawab:
Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Berkaitan dengan aurat wanita terhadap wanita, ada dua pendapat fiqhiyah yang masing-masing memiliki arah penarikan dalil:
Pertama: bahwa aurat wanita terhadap wanita adalah seperti aurat laki-laki terhadap laki-laki, yakni antara pusar dan lutut. Sebagian fuqaha berpendapat demikian.
Kedua, aurat wanita terhadap wanita adalah seluruh tubuh dengan pengecualian tempat-tempat wanita berhias sesuai kebiasaan. Yakni kecuali kepala (rambut) yang merupakan tempat mahkota, wajah tempat celak, leher dan dada tempat kalung, telinga tempat giwang dan anting, lengan atas tempat gelang, lengan bawah tempat gelang tangan, telapak tangan tempat cincin, betis tempat gelang kaki dan kaki tempat cat kuku.
Adapun selain itu, yakni selain tempat-tempat perhiasan yang biasa untuk wanita, maka termasuk aurat wanita terhadap wanita. Yakni bukan hanya antara pusar dan lutut…
Dalilnya adalah firman Allah SWT:
﴿ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ﴾
dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. (TQS an-Nur [24]: 31)

Mereka semuanya boleh memandang dari wanita berupa rambut, lehernya, tempat kalung, giwang, gelang dan organ lainnya yang bisa disebut tempat perhiasannya. Sebab Allah berfirman : walâ yubdîna zînatahunna -dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka- yaitu tempat perhiasan mereka.
Di dalam ayat tersebut disebutkan mahram-mahram dan juga disebutkan wanita. Maka wanita boleh memandang tempat-tempat perhiasan mereka satu sama lain. Sedangkan selain tempat-tempat perhiasan wanita maka tetap merupakan aurat wanita di hadapan wanita lainnya.
Inilah yang rajih menurut kami sesuai dalil. Kami katakan “yang rajih”, sebab ada yang menjadikan aurat wanita terhadap wanita seperti aurat laki-laki terhadap laki-laki, yakni antara pusar dan lutut.

Saudaramu
‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
13 Rajab 1434
23 Mei 2013


INDONESIAKU TAHUN 2014



INDONESIAKU TAHUN 2014
Tepatnya 17 Agustus 1945, Indonesia merdeka (bebas dari penjajahan fisik). Terhitung hingga artikel ini ditulis, 67 tahun telah berlalu. Selama ini pula Indonesia menyelenggarakan pemilu sebanyak 10 kali. Dalam sejarah panjang ini sudahkah rakyat Indonesia merasa benar-benar merdeka? Ataukah merdeka hanya sekedar cita-cita perjuangan para pahlawan terdahulu?
Dengan umur 67 tahun, idealnya bangsa ini telah banyak meraih impiannya. Segala potensi dan sumber daya telah dimiliki Indonesia, didukung oleh jumlah SDM yang tersebar di penjuru negeri. Namun fakta berbicara lain negeri ini belum merdeka dari kemiskinan, kebodohan, kerusakan moral dan keterbelakangan.
Angka kemiskinan per September  2012 sebesar 11,69 persen. Dengan standart pendapatan di bawah Rp600 ribu per bulan atau pendapatan Rp166.697 per kapita per bulan. Dari 237 juta lebih penduduk negeri ini,menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat 31,02 juta jiwa yang terkategori miskin.
Sungguh ironis, meski sudah puluhan tahun merdeka, negeri yang kaya ini, jutaan penduduknya masih terus dililit problem kemiskinan. Satu masalah yang sering kali membuat orang memilih untuk mengakhiri hidup dengan bunuh diri karena tak kuasa menghadapi tekanan kemiskinan. Sebagai contoh pasangan Kaepi (41) dan Yati Suryati (31) warga kelurahan Bekasi Jaya kecamatan Bekasi Timur kota Bekasi yang pada Sabtu (13 Agustus 2012) memilih gantung diri diduga akibat tekanan kemiskinan (Kompas, 15/8).
Berdasar data dari RCTI (13/4) terungkap terdapat 95 orang meninggal karena gizi buruk di Kecamatan Kwor, Tambraw di Provinsi Papua Barat di Indonesia. Ini bukan pertama kalinya orang-orang di Papua meninggal karena kelaparan. Bulan lalu, misalnya, di Kabupaten Nduga, Papua melaporkan bahwa mereka terancam kelaparan karena gagal panen. Di kabupaten lain, Yahukimo, selama Desember 2005, 39 orang meninggal. Dan di Distrik Paniai, 16 orang meninggal pada tahun 2007. Semua itu karena kelaparan. [RCTI, Jakarta, 13/4/2013]
Di sisi yang lain, sebuah majalah bisnis Forbes kembali merilis daftar 40 orang terkaya di Indonesia menjelang akhir tahun 2012. Diantara orang terkaya pertama dengan nilai kekayaan US$ 15 miliar per November 2012. Jika kita bandingkan kekayaan orang miskin dengan orang kaya bagaikan bawah permukaan laut berbanding langit. Si kaya dengan kekayaan sekitar 150 Triliyun rupiah, Si miskin dengan pendapatan sehari kurang dari Rp 7.000,00.
Dengan tingginya angka kemiskinan, berdampak pada pendidikan dan kesehatan. Mahalnya biaya pendidikan (SMA-Perguruan Tinggi) dan kesehatan, seakan orang miskin terlarang sakit dan terlarang sekolah. Meskipun anggaran pendidikan yang mengalami peningkatan fantastis, terutama setelah UU menetapkan anggaran pendidikan 20% dari APBN, ternyata tidak serta merta menyelesaikan masalah pendidikan. Anggaran pendidikan di APBN-P 2011 Rp 266,9 triliun, jumlah itu sudah separuh dari total APBN tahun 2005, lalu naik menjadi Rp 289 triliun di APBN 2012 dan menjadi Rp 303 triliun di APBN-P 2012. Dengan dana sebesar itu, masih banyak dijumpai anak yang tidak bisa menyelesaikan wajib belajar 9 tahun. Menurut anggota DPR RI Raihan Iskandar (26/12/12) dalam data tahun 2011 terdapat 10,268 juta siswa usia wajib belajar (SD dan SMP) yang tidak menyelesaikan wajib belajar 9 tahun. Sekitar 3,8 juta siswa yang tidak dapat melanjutkan ke tingkat SMA. Hal ini disebabkan karena kemiskinan sehingga tidak mempunyai biaya untuk sekolah.
Dalam lingkup Perguruan Tinggi misalnya, istilah BHMN sudah tidak asing lagi. Dengan adanya BHMN pemerintah seakan lepas tangan terhadap pendidikan di tingkat Perguruan Tinggi. Biaya pendidikan Perguruan Tinggi kian melangit. Hal ini dikarenakan Negara tidak lagi memberi subsidi kepada Perguruan Tinggi sebagaimana semestinya. Banyak calon mahasiswa yang tidak mendaftar ulang dikarenakan biaya masuk PTN yang tinggi.
Dari mahalnya biaya pendidikan ternyata tidak dibarengi lapangan pekerjaan yang memadai. Hal ini dibuktikan dengan angka pengangguran. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran di Indonesia per Agustus 2012 sebesar 6,14%. Jumlah pengangguran di Indonesia sebesar 7,24 juta orang. Hal ini disampaikan oleh Kepala BPS Suryamin dalam jumpa pers di kantornya, Jalan Dr. Sutomo, Jakarta, Senin (15/11/2012).
Dalam bidang politik, selama semester pertama 2012, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan 285 kasus korupsi yang merugikan negara hingga Rp 1,22 triliun. ICW mencatat jumlah tersangka korupsi mencapai 597 orang. Modus mereka beragam mulai dari penggelapan terdapat 92 kasus, penggelembungan dana 83 kasus, hingga pemotongan anggaran dan gratifikasi. Sedangkan untuk kasus korupsi yang melibatkan PNS, ternyata sudah menembus angka 1000, baik untuk kasus yang sedang diproses maupun yang sudah menjalani proses hukum.
Dari berbagai masalah yang menimpa negeri Indonesia di atas, tentunya ada penyebabnya. Dari masa ke masa masalah semakin kompleks, tentunya terdapat masalah pokok yang harus segera dipecahkan bersama. Masalah ekonomi, pendidikan, kesehatan, social, politik dan lainnya merupakan masalah cabang. Di atas masalah tersebut terdapat masalah pokok yang jauh lebih besar akibatnya. Ibaratkan jika sebuah rumah bocor, maka masalah yang diakibatkan adalah rumah menjadi basah, licin, atau bahkan banjir. Basah, licin, banjir hanyalah masalah cabang. Yang menjadi masalah pokok adalah genteng yang bocor. Maka solusi yang tepat adalah memperbaiki genteng. Mengepel, membersihkan lantai hanyalah solusi yang belum tentu menjadikan masalah tuntas.
Jika kita mau jujur, akar masalah dari semua persoalan yang menimpa Indonesia adalah pada aturan yang digunakan. Selama 67 tahun “merdeka” negeri ini mengadopsi aturan yang bersumber pada buatan manusia. Akal manusia yang terbatas dijadikan untuk membuat hukum, sehingga yang bermain peran adalah nafsu yang condong ke pihak tertentu (asing).
Kembali pada sejarah, selama tiga belas abad, kaum Muslim menikmati kemakmuran yang tak tertandingi melalui penerapan aturan-aturan Islam. Kemakmuran pada semua aspek kehidupan, ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan, keamanan dan lainnya.
Allah berfirman dalam Surat Al Anbiya
“Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS Al-Anbiya [21]: 107).
Apa yang diturunkan Allah melalui Al Quran dan sunah Rasul adalah membawa kepada rahmat untuk semesta alam. Bukan hanya kaum muslim saja, akan tetapi non muslim. Bukan hanya manusia akan tetapi hewan, tumbuhan dan makhluk Allah lainnya.
Dalam bidang kesehatan, Islam sangat menghargai kesehatan dan hal ini dianggap sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, bersama dengan makanan dan keamanan. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa pun yang dalam satu harinya bebas dari penyakit, aman dari gangguan orang lain, dan memiliki makanan pada hari itu, maka hal itu adalah seperti memiliki dunia seisinya.” (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Memberikan kesehatan gratis dan pemeliharaan kesehatan yang layak adalah tanggung jawab negara terhadap semua warganya; baik mereka kaya-miskin, Muslim-non-Muslim. Rasulullah saw. bersabda:
“Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.”  (HR al-Bukhari).
Memberikan kesehatan gratis kepada masyarakat adalah hal yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Di Madinah, Ibnu Ishaq melaporkan dalam buku Sirah-nya, bahwa sebuah kemah yang dibangun di masjid dan diberi nama seseorang yang bernama Rufaidah dari suku Aslam digunakan untuk memberikan diagnosis dan pengobatan untuk orang-orang secara gratis untuk orang-orang kaya maupun miskin. Ketika Saad bin Muadz ra. terkena panah selama Perang Khandaq, Rasulullah saw. mengatakan kepada para Sahabat untuk membawanya ke Kemah Rufaidah. Rufaidah dibayar oleh negara dari ghanimah sebagaimana yang disebutkan Al-Waqidi dalam bukunya yang berjudul Al-Maghazi.
Rasulullah saw bersabda, “Siapa pun yang meninggalkan uang, uang itu bagi yang mewarisinya, dan siapa pun yang meninggalkan anak yang lemah, maka (tanggungjawabnya) kepada kita.” (HR Muslim).
Dalam hal ini, negara bertanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal dan pakaian bagi mereka yang tidak mampu karena alasan apa pun. Fakta sejarah saat sahabat Nabi Abu Bakar ra menjabat sebagai khalifah, beliau melayani seorang perempuan jompo dan buta yang tinggal di pinggiran Madinah.
Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818-820 M), meskipun masa Kekhilafahannya cukup singkat (hanya 3 tahun), umat Islam terus mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat. Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, berkata, “Ketika hendak membagikan zakat, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.” (Ibnu Abdil Hakam, Sîrah ‘Umar bin Abdul ‘Azîz, hlm. 59).
Dengan menerapkan aturan Islam, seorang pakar Dr Muhammad Rahmat Kurnia MSi melakukan perhitungan sehingga didapatkan APBN 2012 Bisa Surplus Rp 451 T. Perkiraan itu berbanding terbalik dengan APBN-Perubahan yang dikeluarkan pemerintah dimana APBN 2012 mengalami defisit 190,1 triliun.
Selengkapnya ia menyajikan data penerimaan di APBN-P senilai RpRp. 1.358,2 triliun dengan sumber terbesar dari pajak Rp1.012 triliun (74.5%), sedangkan belanja negara Rp1.548,3 triliun.
Dalam APBN yang menggunakan aturan Islam, prediksi penerimaan negara sebesar Rp. 1.999 triliun. Sedangkan belanja negara disamakan dengan APBN-P Rp. 1.548,3 triliun.
Perinciannya, berasal dari bagian kepemilikan umum yang seluruhnya dikuasai oleh negara seperti minyak Rp 288,7 triliun, gas Rp331,1 triliun, batubara Rp236,5 triliun, emas dan mineral logam lainnya Rp70 triliun, BUMN kelautan Rp73 triliun dan hasil hutan Rp1.000 triliun.
Selama ini, 88,8% pertambangan migas dikuasai asing, emas dan tembaga dikuasai PT. Freeport dan PT. Newmont. Sementara batu bara dan pengusahaan hasil  hutan hampir semua dikuasai swasta asing dan nasional.
Dari penguasaan itu, pemerintah hanya mendapat royalti dari emas dan tambang sebesar 3,75 persen, batu bara 13,5 persen. Sudahlah mendapat royalti kecil, cost recovery yang mesti ditanggung pemerintah mencapai Rp345,9 triliun.
Inilah aturan Islam yang bersumber dari Allah SWT sang pencipta manusia, terbukti menyejahterakan. Sudah selayaknya bangsa Indonesia sadar dan menerapkan aturan yang sempurna (aturan Islam). Wallahu A’lam.

Karya:
Liya Yuliana, S.Pd
Bojonegoro, Jawa Timur
FB: Anna Mujahidah Mumtazah