IRONI PELAYANAN KESEHATAN

IRONI PELAYANAN KESEHATAN
LOMBA MENULIS BLOG FPKR

Kamis, 28 Mei 2015

DIMENSI SPIRITUAL ISRA MIKRAJ


 

Rasulullah manusia yang maksum (terbebas dari dosa). Manusia teladan di akhir zaman pada masa dan setelahnya. Tutur katanya penuh hikmah, diamnya tanda kebolehannya. Diantara mu’jizat yang diberikan Allah kepada manusia mulia ini adalah perjalanan Isra’ dan Mi’raj.
Setelah mengalami penyiksaan fisik sepeninggal pamannya Abu Thalib, disusul tekanan dan penderitaan akibat ditinggalkan oleh istri tercinta yang setia mendampinginya dalam suka dan duka, kemudian kegagalan cita-citanya saat pergi ke Thaif, maka Allah hendak menghormatinya dengan perjalanan yang penuh berkah. Sebuah perjalanan yang tiada seorang pun pernah mendapatkannya. Sebuah perjalanan dimana beliau memimpin salat bersama para nabi. Perjalanan terindah sepanjang sejarah.
Tentu terbesit pertanyaan dalam akal dan hati kita. Bagaimana proses perjalanan itu hingga dalam semalam dapat menembus Sidratul Muntaha? Seberapa cepatkah? Sebagaimana kita ketahui kecepatan cahaya menurut para ilmuwan adalah sebesar 300.000.000 m/s atau 300.000 km/s. Untuk mampu mencapai bintang nan jauh di langit tingkat satu saja konon membutuhkan waktu jutaaan tahun dengan kecepatan cahaya. Pun jika manusia bergerak dengan kecepatan cahaya maka bisa jadi jasad manusia sudah rusak. Allahu Akbar, Allah menunjukkan kekuasaan-Nya.
Bukanlah Isra dan Mi’raj itu kehendak Rasulullah namun sebuah peristiwa yang dikehendaki oleh Allah. Bagaimana pula cara rasul untuk sampai kesana? Bagaimana saat beliau menembusnya tanpa persediaan oksigen, sedangkan di atas sana bisa jadi oksigen tiada tersedia? Allahu A’lam. Hanya Allah yang mengetahui kesemuanya ini. Keterbatasan akal manusia tidak sanggup menjangkaunya. Dan tentunya peristiwa ini terjadi di luar hukum alam. Itulah mu’jizat yang Allah berikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Isra’, perjalanan Rasulullah dari Masjidil Haram ke Baitul Maqdis. Secara normal waktu yang dibutuhkan di kala itu perjalanan dari Masjidil Haram ke Baitul Maqdis lebih dari satu hari satu malam, mengingat jarak kedua tempat sekitar 1.500 km. Miraj adalah perjalanan Rasulullah dari Baitul Maqdis ke Sidratul Muntaha. Secara normal, tidaklah mungkin perjalanan yang jika ditempuh dengan kecepatan cahaya membutuhkan waktu sekian juta tahun, akan tetapi dapat ditempuh dalam semalam saja. Itulah mu’jizat, apa yang seakan tidak mungkin terjadi, dengan seizin Allah dapat dengan mudah terjadi.
Dalam sebuah buku best seller Sirah Nabawiyah karya Syaikh  Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri, beliau menuliskan bahwa Ibnul-Qayyim berkata, “Menurut riwayat yang shahih, Rasulullah diisra’kan dengan jasadnya. Dari Masjidil Haram ke Baitul Maqdis dengan menaiki Buraq disertai Jibril, lalu turun dan salat mengimami para nabi yang lain. Sementara tali Buraq diikat pada tali pintu masjid.” Dalam karya yang sama pula disebutkan pada malam itu pula beliau melakukan perjalanan dari Baitul Maqdis naik ke langit dunia berjumpa dengan Nabi Adam, melanjutkan ke langit kedua  melihat Yahya bin Zakaria dan Isa bin Maryam, ke langit ketiga melihat Yusuf, langit ke empat melihat Idris, langit kelima melihat Harun bin Imran, langit ke enam melihat Musa bin Imran, langit ke tujuh melihat Ibrahim, ke Sidratul Muntaha lalu naik lagi ke Baitul Ma’mur. Lalu dibawa naik lagi menghadap Allah Yang Maha Perkasa dan Allah memberikan kewajiban salat lima waktu dari yang semulanya lima puluh kali.
Menurut Syaikh Rawwas Qal Ahji dalam Sirah Nabawiyah Sisi Politis Perjuangan Rasulullah dilihat dari dimensi politik, dalam peristiwa Isra' Mi'raj terkandung isyarat peralihan kepemimpinan. Dunia yang semula di bawah kekuasaan Bani Israil, kemudian beralih di bawah kekuasaan umat Muhammad Saw. Seperti diketahui, kepemimpinan dunia hingga terjadinya peristiwa Isra' Mi'raj di bawah kepemimpinan Bani Israil, sebab agama samawi yang masih ada adalah Yahudi dan Nasrani. Namun umat terdahulu tak mampu menjaga kemurnian ajaran agamanya dan mendistorsi ajaran agama mereka sendiri.
Qal'ahji kemudian menunjukkan isyarat-isyarat yang menunjukkan perpindahan estafet kepemimpinan dunia itu dalam Isra' Mi'raj. Dalam peristiwa Isra', Rasulullah diperjalankan oleh Allah SWT dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha salat bersama para nabi dan Rasulullah Saw tampil sebagai imam. Di belakang Rasululah Saw adalah para makmum yang terdiri dari nabi-nabi,. Dari peristiwa tersebut, ada isyarat kepemimpinan umat Islam. Pencabutan kepemimpinan Bani Israil yang selanjutnya diberikan kepada umat Muhammad Saw. Peralihan kepemimpinan ini bukanlah peralihan yang sembarangan. Melainkan peralihan yang absah alias konstitusional.
Hal menarik lain yang dikemukakan Qal'ahji, bahwa dengan peristiwa itu, berarti Masjidil Aqsha akan menjadi milik umat Islam. Karena dalam salat jamaah yang dilakukan di suatu tempat, yang paling berhak menjadi imam adalah pemilik tempat itu. Jadi, karena yang menjadi imam adalah Rasululah artinya beliaulah yang menjadi pemilik Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha).
Dari dimensi sosial menurut Qal Ahji, salat beliau dengan para nabi, padahal mereka berbeda kebangsaannya dan warna kulitnya. Hal ini mengandung arti bahwa Islam akan menaungi semua kaum mukminin. Tiada membedakan antara kulit hitam maupun kulit putih, antara bangsa Arab dan non Arab. Semua bangsa dilebur dalam wadah keimanan.
Dari dimensi spiritual menurut Qal Ahji  bahwa peristiwa Isra Mi’raj terjadi setelah serentetan peristiwa meninggalnya Abu Thalib, di susul kepergian sang istri Ibu Khadijah, maka seakan Allah berfirman: “Wahai Muhammad, sesungguhnya masa depan milikmu dan umatmu  sesudahmu, sehingga batas negaramu akan melewati Baitul Maqdis, begitu pula warisan agama terdahulu berada di pundakmu.” Sambil salat di belakang Rasulullah, para Rasul seakan berkata: “Pergilah menuju Tuhanmu. Doa kami selalu bersamamu.” Seolah-olah malaikat pun berkata: “Jika bumi terasa sempit olehmu, maka langit akan membuka dadanya untukmu. Jika orang-orang bodoh dan zalim diantara penduduk bumi menyakitimu, maka penduduk langit telah berdiri menyambutmu.” Allahu A’lam.
By AMM,  Dimuat di Radar Bojonegoro 24 Mei 2015

Selasa, 05 Mei 2015

KARTINI TAK INGINKAN EMANSIPASI






KARTINI TAK INGINKAN EMANSIPASI
“Ibu kita Kartini, putri sejati, putri Indonesia harum namanya”. Begitulah lagu yang sering didengungkan oleh anak didik untuk mengenang jasa Kartini. Di saat kaum adam bersekolah, kaum hawa tak berkesempatan sebagaimana kaum adam. Hati nurani Kartini pun berontak. Tak rela jika kaum hawa bodoh tiada terkira. Sementara penjajahan kian mendera. Hingga detik ini, kaum hawa dapat merasakan manisnya mengenyam pendidikan tak lepas dari jasa beliau.
Tepatnya 21 April bangsa Indonesia memperingati hari Kartini. Untuk menghormati jasanya, sekolah maupun lembaga tak mau ketinggalan mengikuti berbagai event. Mulai ajang pameran pakaian kebaya, karnaval, ajang lomba, aneka dandanan dengan bersanggul dan lainnya. Pada event tersebut seakan kecantikan kaum hawa wajib ditampakkan. Sejak dini, anak kecil pun dididik bermake up, dengan harapan merayakan sekaligus menghargai jasa sosok pahlawan perempuan.
 Di sisi lain kaum feminis kian gencar mengopinikan ide emansipasi (kesetaraan wanita dengan kaum priadi ranah politik, publik). Seakan gagasan  RA Kartini identik dengan emansipasi wanita. Mereka mengopinikan agar wanita setara dengan kaum pria, baik dalam ranah politik, publik maupun dalam rumah tangga. Bagi mereka, suatu ketidakadilan saat kaum adam bekerja di luar rumah, sementara kaum hawa hanya mengurus rumah tangga saja mendidik anak-anak mereka. Kaum wanita seakan terkungkung tanpa memiliki kebebasan.
Perang pemikiran yang dilakukan kaum feminis semakin mendapat lahan subur dan angin segar, buktinya banyak dibuka lowongan pekerjaan yang mengkhususkan pekerjanya adalah kaum wanita. Aneka iklan di televisi juga memanfaatkan kemolekan dan jasa kecantikan kaum hawa. Wanita sedemikian bebasnya bergaul dengan laki-laki. Tak sedikit kita jumpai kaum hawa terjerumus dalam aktivitas ikhtilat (campur baur laki-laki dengan wanita). Kecantikan kaum hawa tak lagi terkhusus suaminya, akan tetapi dapat menjadi barang dagangan yang laris manis dilemparkan ke pasaran maupun iklan gratis bagi penonton layar kaca. Mulai iklan sabun, kendaraan bermotor dan lainnya tak lepas dari jasa kecantikan kaum hawa. Sungguh ironis.
Sejarah Feminisme
Terlepas dari keterlibatan RA. Kartini sebagai pejuang dalam pemberdayaan perempuan di Indonesia, emansipasi sebenarnya diilhami dari gerakan feminisme di barat. Pada abad ke-19, muncul benih-benih yang dikenal dengan feminisme yang kemudian terhimpun dalam wadah Women’s Liberation (Gerakan Pembebasan Wanita).
Gerakan yang berpusat di Amerika Serikat ini berupaya menjadikan kesamaan hak serta menghendaki adanya kemandirian dan kebebasan bagi perempuan.  Pada tahun 1960, isu feminisme berkembang di AS. Tujuannya adalah menyadarkan kaum wanita bahwa pekerjaan yang dilakukan di sektor domestik (rumah tangga) merupakan hal yang tidak produktif. Kemunculan isu ini karena diilhami oleh buku karya Betty Freidan berjudul The Feminine Mystiquue (1963). Freidan mengatakan bahwa peran tradisional wanita sebagai ibu rumah tangga adalah faktor utama penyebab wanita tidak berkembang kepribadiannya. Ide ini hingga kini menjangkit kaum hawa.
Kaum feminis tak hentinya menuduh Islam sebagai penghambat kemajuan. Ketaatan istri terhadap suami dianggap diskriminasi. Tugas ibu mendidik anak-anaknya dan tampil di belakang layar dianggap sebagai kaum terbelakang. Tampilnya wanita di luar rumah dianggap sebagai kemajuan, meski anak telantar. Busana muslimah yang seharusnya digunakan untuk menutup aurat dengan memakai jilbab (Q.S Al-Ahzab:59) dan kerudung (Q.S An-Nur:31) dianggap mengungkung kebebasan berekspresi kaum perempuan. Lalu benarkah R.A Kartini dalam sejarahnya merupakan pahlawan emansipasi, sebagaimana yang diklaim oleh para pengusung ide feminis? Ternyata hal ini bertolak belakang.

Cita-cita Kartini
Dalam sebuah surat yang ditulis Kartini, nampaknya beliau tak inginkan emansipasi sebagai mana yang tengah getol diperjuangkan oleh kaum feminis. sebagaimana terlihat dalam tulisan Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya pada 4 oktober 1902, yang isinya, “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” Dalam surat tersebut tampak RA Kartini tak inginkan persaingan dengan laki-laki di kancah publik, namun beliau menuntut agar kewajiban menuntut ilmu dapat terpenuhi. Menuntut ilmu  merupakan kewajiban yang dibebankan Allah kepada kaum hawa dan kaum adam. Jika kaum hawa yang berilmu, beliau berharap agar kaum hawa dapat mendidik anak-anaknya dengan ilmunya. Dalam Islam ibu adalah sosok yang pertama dan utama dalam mendidik anak-anaknya. Saat ibu tiada memiliki ilmu, maka apa yang akan diberikan kepada anaknya? Mengutip pepatah Arab faqidu syai' la yu'thi.. “ (siapa yang tidak punya, maka dia tidak bisa memberi). Apa yang mau diberikan, jika tidak memiliki apa-apa.
Pada saat Kartini mempelajari Islam, beliau terinspirasi dengan firman Allah SWT yang artinya “…mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman) (QS al-Baqarah ayat 257),” yang diistilahkan Armyn Pane dalam tulisannya dengan, “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Dari masa kebodohan wanita tanpa aksara (buta huruf) menuju wanita cerdas yang kelak mampu mendidik dan menjadikan anaknya berkepribadian unggul dan terpercaya.
Dari sini tampak bahwa ide feminisme bukan hal yang dikumandangkan Kartini, namun pendidikan yang adil bagi kaum wanita dan  laki-laki. Karena sejatinya kewajiban menuntut ilmu tak hanya kau m adam, namun terbebankan pula kepada kaum hawa. Dihadapan Allah kaum adam dan kaum kawa sama, yang membedakannya hanyalah takwanya. Namun bukan berarti sama dalam hal  kewajiban lainnya (mencari nafkah, mengisi ruang politik). Di saat Allah menitipkan sang buah hati, ibu memiliki kewajiban mendidik anaknya, pengatur urusan rumah tangga, bukan menjadi korban kebebasan maupun iklan kecantikan. Jika pun seorang ibu menginginkan belerja maka mubah (boleh) hukumnya tanpa mengesampingkan kewajibannya sebagai pengatur urusan rumah tangga. Allahu A’lam
sumber: Liya Yuliana (AMM dalam radar Bojonegoro 16 April 2015)