Ditemani sebuah buku inspiratif Istamti' bi Hayatika, ku temukan kisah tentang Ka'ab bin Malik.
Ingin ku buat resume, namun karena keterbatasan, ku search di mbh google, kutemukan kisah sebagai berikut:
Kisah Taubat Ka'ab bin Malik -radhiyallahu'anhu- yang Sangat Mengharukan dan Penuh Hikmah
Dari
Abdullah bin Ka’ab bin Malik –dialah yang menuntun Ka’ab ketika telah
buta dari sekian banyak anaknya- dia berkata, “Saya mendengar Ka’ab bin
Malik (yakni ayahnya) bercerita mengenai kisahnya ketika tertinggal dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Tabuk. Ka’ab
berkata:
“Saya tidak pernah tertinggal dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu peperangan pun kecuali perang
Tabuk. Walaupun saya juga tertinggal dari perang Badr, tetapi ketahuilah
sesungguhnya tidak ada seorang pun yang tertinggal dari peperangan
tersebut yang dicela. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan kaum muslimin keluar pada perang Badr hanya untuk menghadang
kafilah dagang Quraisy. Hingga akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
mempertemukan antara kaum muslimin dan musuh mereka dengan tanpa
perjanjian. Saya juga telah menyaksikan malam Aqabah bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika kami berbai’at di atas Islam. Hal
itu lebih saya senangi daripada saya ikut perang Badr walaupun perang
Badr itu lebih banyak disebut-sebut orang.
Dulu, berita yang
tersebar mengenai diri saya ketika tertinggal dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pada perang Tabuk bahwa saya tidaklah
lebih kuat dan lebih lapang untuk berperang bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat itu. Padahal demi Allah, saya
belum pernah memiliki dua unta dan saya memilikinya pada perang
tersebut. Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
hendak berperang kecuali selalu beliau samarkan dengan yang lain. Dalam
perang ini beliau berperang pada musim panas dan menempuh perjalanan
jauh melewati gurun yang gersang untuk menghadapi pasukan yang besar.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada kaum
muslimin tentang perkara ini agar mereka menyiapkan persiapan perang.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada manusia
maksud beliau. Kaum muslimin yang mengikuti Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sangat banyak sehingga tidak seorangpun yang sanggup
mencatatnya.
Maka orang-orang yang absen darinya sangatlah
sedikit. Mereka yang absen menyangka bahwa keadaan mereka yang
sebenarnya tidak akan diketahui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam selama tidak turun wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
menerangkan hal tersebut.” Kata Ka’ab.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melaksanakan perang tersebut ketika musim kurma telah
siap panen di mana ketika itu saya cenderung kepadanya. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama kaum muslimin telah bersiap-siap
sedangkan saya merencanakan besok saja. Saya pulang dan masih belum
menyiapkan persiapan perang sama sekali. “Saya mampu untuk berperang
kapanpun saya berkehendak,” kataku di dalam hati.
Akan tetapi
keadaan seperti itu terus berlarut hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan kaum muslimin berangkat. Adapun saya, masih tetap belum
menyiapkan sesuatu pun. Saya kembali pulang dan belum juga bersiap-siap.
Keadaan tersebut terus berlarut sampai saya benar-benar tertinggal dari
pasukan. Saya lalu bertekad untuk berangkat dan menyusul. Coba kalau
dulu saya melakukannya?! Hingga akhirnya saya tetap tidak bisa mengikuti
peperangan itu.
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berangkat saya sangat bersedih sekali di mana ketika itu saya keluar,
saya tidak mendapatkan seorangpun dari kaum muslimin, kecuali beberapa
orang yang terkenal dengan tuduhan kemunafikan atau orang-orang lemah
yang diberi maaf oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk tidak ikut
berperang.
Ketika itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sama sekali tidak menyebut-nyebut nama saya sehingga beliau sampai di
Tabuk. Sesampainya beliau di Tabuk ketika sedang duduk-duduk bersama
kaum muslimin, baru Beliau bertanya, “Apa yang diperbuat Ka’ab bin
Malik?”
“Yaa Rasulullah, dia terhalang oleh kain mantelnya dan hanya melihat-lihat mantel itu,” kata seorang dari Bani Salamah.
“Jelek
benar apa yang kamu katakan, demi Allah wahai Rasulullah, kami tidak
mengenal dirinya kecuali kebaikan,” balas Mu’adz bin Jabal kepada orang
tersebut.
Rasulullah terdiam, dalam keadaan seperti itu tiba-tiba
Beliau melihat seorang laki-laki yang tidak begitu jelas karena
terpengaruh adanya fatamorgana.
“Itu adalah Abu Khaitsamah.” Kata Rasulullah.
Ternyata
benar, dia Abu Khaitsamah Al Anshory yang pernah bershodaqoh dengan
satu sho’ kurma (kurang lebih 2,5 kg) di mana ketika itu orang-orang
munafik mencelanya.
Ka’ab bin Malik kemudian melanjutkan ceritanya.
Ketika
sampai kabar pada saya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah pulang dari Tabuk maka datanglah kesedihanku dan hampir saja saya
hendak berdusta kepada beliau untuk menceritakan apa yang sebenarnya
terjadi pada diri saya agar terlepas dari kemarahan beliau. Saya pun
sudah berusaha untuk meminta pendapat seluruh keluarga saya dalam
mencari alasan. Setelah ada berita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam benar-benar telah datang, hilanglah segala keinginanku untuk
berdusta karena saya yakin bahwasanya saya tidak akan selamat
selama-lamanya. Maka saya bertekad untuk berkata dengan sejujurnya.
Keesokan
harinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang. Sudah menjadi
kebiasaan beliau bila datang dari safar selalu shalat dua rakaat di
masjid kemudian duduk berbincang-bincang dengan para sahabat. Pada saat
itu datanglah orang-orang yang tidak ikut berperang untuk mengajukan
alasan-alasan mereka disertai dengan sumpah kepada beliau yang jumlahnya
sekitar 80 orang lebih. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menerima alasan mereka sesuai dengan apa yang mereka nampakkan. Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membai’at dan memintakan ampun
untuk mereka serta menyerahkan apa yang ada di batin mereka kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketika saya menghadap dan mengucapkan salam kepada beliau, beliau tersenyum sinis kepada saya dan bersabda, “Kemari!!”
Saya pun datang mendekat dan duduk di hadapan beliau.
“Apa yang menyebabkan kamu tidak ikut perang ini, bukankah kamu telah menyiapkan kendaraan?” tanya beliau.
“Yaa
Rasulullah, demi Allah seandainya saya duduk di hadapan penduduk bumi
ini selain engkau pasti saya akan beralasan agar selamat dari
kemarahannya karena saya orang yang pandai berdebat. Tetapi demi Allah,
seandainya saya berdusta pada hari ini sehingga engkau ridha, pasti
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membuat engkau marah kepada saya. Namun
seandainya saya jujur niscaya engkau akan marah pada saya, tetapi saya
tetap mengharapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memberikan akibat
yang baik. Demi Allah, saya tidak mempunyai udzur. Demi Allah tidaklah
sebelumnya saya lebih kuat dan mampu dari pada ketika saya tidak ikut
berperang bersama engkau,” jujur Ka’ab.
“Adapun yang ini telah
berkata jujur, pergilah sampai Allah yang memutuskan tentang dirimu,”
kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka akupun pergi.
Sewaktu saya pergi, beberapa orang Bani Salamah mengikuti saya. Mereka
berkata kepada saya, “Demi Allah, kami belum pernah mengetahui kami
berbuat kesalahan sebelumnya, kenapa kamu tidak minta maaf saja kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana orang-orang yang
tidak ikut berperang?! Sesungguhnya permintaan ampun Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allah untuk kamu akan menghapuskan
dosamu?!”
Ka’ab bin Malik berkata, “Demi Allah mereka selalu
mencela sikapku sehingga bermaksud untuk kembali kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan akan mendustakan diriku sendiri.”
“Apakah ada seorang yang menerima keputusan seperti saya ini?” tanyaku kepada orang-orang Bani Salamah tersebut.
“Ya,
ada dua orang yang mengatakan seperti apa yang kamu katakan dan
keduanya itu mendapatkan keputusan seperti keputusan yang diberikan
kepadamu,” Jawab mereka.
“Siapakah kedua orang itu?” tegasnya.
“Murarah bin Rabiah Al ‘Amiry dan Hilal bin Umayah Al Waqify.”
Ka’ab
bin Malik berkata, ”Setelah mereka menyebutkan kepada saya dua orang
yang shalih ini di mana keduanya itu juga ikut perang Badr dan mempunyai
keutamaan maka ketika itu saya merasa agak tenang.”
Ka’ab bin Malik kemudian melanjutkan ceritanya:
Akhirnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kaum muslimin untuk
berbicara kepada salah seorang di antara kami bertiga yang tidak ikut
perang Tabuk. Maka orang-orang pun menjauhi kami sehingga seolah-olah
kami sangat terasing dan rasanya saya tidak betah lagi hidup di dunia
ini. Kami bertiga tinggal dalam keadaan seperti itu selama 50 hari.
Adapun
kedua sahabat saya, mereka tetap tinggal dan duduk di rumah dalam
keadaan terus menangis. Adapun saya, saya yang termuda dan terkuat di
antara kami bertiga. Saya tetap keluar dan ikut shalat bersama kaum
muslimin. Saya tetap pergi ke pasar akan tetapi tidak ada seorang pun
yang menyapa saya. Bahkan, suatu ketika saya pernah datang kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan kepada beliau
ketika sedang duduk setelah shalat di majlisnya. Aku berkata dalam hati,
“Apakah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menggerakkan kedua bibir
beliau untuk menjawab salamku?!”
Lalu saya shalat di dekat beliau
sambil sesekali melirik beliau. Apabila saya sedang shalat beliau
memandang saya. Tapi apabila saya melirik beliau, beliau berpaling.
Sampai ketika peristiwa yang demikian ini semakin menyedihkanku di mana
kaum muslimin mengucilkanku sedemikian rupa, maka di suatu sore saya
naik dinding rumah Abu Qatadah, saudara sepupuku yang amat sangat
kusukai.
Lalu saya mengucapkan salam kepadanya, tapi demi Allah
dia tetap tidak membalas salam saya. Lantas saya berkata padanya, “Wahai
Abu Qatadah, demi Allah saya ingin mendengar jawabanmu! Apakah kamu
mengetahui bahwa saya mencintai Allah dan RasulNya?!”
Tapi Abu
Qatadah tidak mau menjawab juga. Kemudian saya meminta dia lagi dengan
nama Allah untuk menjawab salam saya, tapi dia masih tidak mau menjawab
salam saya juga. Kemudian saya duduk lagi dan saya bertanya lagi
kepadanya tapi dia tetap saja diam. Akhirnya dia menjawab, “Allah dan
RasulNya yang lebih mengetahui.”
Maka mengucurlah air mataku.
Kemudian saya naik dinding rumah Abu Qatadah dan beranjak pulang. Suatu
hari, saya pernah berjalan-jalan di pasar. Tiba-tiba ada seorang petani
dari Syam yang biasa menjual makanan di kota Madinah bertanya, “Siapakah
yang mau menunjukkan Ka’ab bin Malik kepadaku?”
Maka orang-orang
menunjuk diriku. Lalu orang itu pun datang kepadaku seraya memberikan
sepucuk surat dari raja Ghassan. Waktu itu saya telah bisa menulis dan
membaca. Kemudian saya baca surat itu dan ternyata isinya adalah:
“Selanjutnya
ingin saya sampaikan bahwa saya telah mendengar kalau teman-temanmu
telah mengucilkanmu. Ketahuilah Allah tidaklah menjadikan dirimu sebagai
seorang yang hina dan orang yang pantas disia-siakan, maka bergabunglah
dengan kami, kita akan saling membantu.”
“Inilah ujian lagi.” gumamku setelah membaca surat itu. Kemudian saya melemparkan surat tersebut ke dalam api.
Setelah
sampai pada hari ke-40 di mana saya dikucilkan selama 50 hari dan belum
juga turun wahyu, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengutus seseorang kepadaku di mana dia berkata, “Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhmu supaya kamu berpisah
dengan istrimu.”
“Apakah saya harus menceraikannya atau apa yang harus saya perbuat???” tanyaku.
“Tidak, janganlah kamu menceraikannya tapi kamu jangan mendekatinya (menyetubuhinya),” jawabnya.
Bersamaan
dengan itu Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengutus utusan
untuk mendatangi kedua temanku untuk menyampaikan perintah yang sama.
Kemudian saya berkata kepada istri saya, “Pulanglah kamu ke keluargamu
dulu dan tinggallah di sana bersama-sama mereka sehingga Allah memberi
keputusan tentang persoalanku ini.”
Adapun istri Hilal bin Umayyah, maka dia mendatangi Rasulullah.
“Wahai
Rasulullah sesungguhnya Hilal bin Umayyah seorang yang sangat tua nan
lemah dan tidak mempunyai seorang pelayan. Maka apakah engkau tidak
keberatan bila mengizinkan saya melayaninya?” pintanya.
“Tidak apa-apa. Tetapi jangan sekali-kali ia mendekati (menyetubuhi) kamu.”
“Demi
Allah! Hilal sudah tidak lagi mempunyai nafsu untuk berbuat seperti itu
lagi dan demi Allah ia selalu menangis semenjak ia menerima keputusan
itu sampai saat ini.” lanjut istri Hilal.
Kemudian sebagian
keluargaku menganjurkan kepadaku agar aku juga minta izin kepada
Rasulullah mengenai masalah istriku karena beliau telah mengizinkan
istri Hilal bin Umayyah untuk tetap melayaninya.
“Saya tidak akan
minta izin kepada Rasulullah mengenai istriku. Saya tidak tahu
bagaimana jawaban Rasulullah seandainya saya minta izin masalah istriku
sedangkan saya masih muda,” tegas Ka’ab.
Kemudian saya tinggal
sendirian selama sepuluh hari. Genaplah lima puluh hari saya semenjak
orang-orang tidak boleh berbicara kepada kami. Tatkala saya selesai
mengerjakan shalat subuh pada hari kelima puluh di tingkat atas rumahku,
di mana kemudian saya duduk-duduk di atasnya dengan mengingat apa yang
telah menimpaku. Saya telah merasa sangat sempit hidup di dunia ini
karenanya. Tiba-tiba saya mendengar seorang yang naik gunung Sal’in dan
berteriak dengan suaranya yang paling keras, “Wahai Ka’ab bin Malik
bergembiralah kamu!”
Maka saya langsung bersujud karena tahu
bahwasanya telah datang jalan keluar bagiku. Ternyata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengumumkan kepada manusia bahwa
Allah telah menerima taubat kami ketika subuh. Maka orang-orang mulai
menyampaikan kabar gembira kepadaku. Begitu pula ada juga yang pergi
kepada kedua kawan saya untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.
Ada
seorang laki-laki yang datang kepada saya dengan naik kuda, ada yang
jalan kaki, ada pula yang naik bukit. Maka terdengar suara orang tadi
lebih cepat sampainya kepadaku daripada orang yang berkuda. Ketika
sampai kepadaku orang yang menyampaikan kabar gembira tadi, maka segera
kulepaskan kedua pakaianku untuk kupakaikan keduanya kepada orang itu
dikarenakan kabar gembira tersebut. Padahal demi Allah, waktu itu saya
tidak mempunyai pakaian selain itu.
Kemudian saya meminjam dua
pakaian untuk saya pakai menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Orang-orang menemui saya secara berkelompok-kelompok
menyampaikan selamat atas diterimanya taubat saya.
“Selamat atas diterimanya taubatmu kepada Allah,” kata mereka.
Saya
masuk masjid. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang
duduk di masjid dan di sekitar beliau terdapat banyak orang, Thalhah bin
Ubaidillah bangkit berlari untuk menjabat tangan saya dan mengucapkan
selamat kepadaku.
“Demi Allah tidak ada seorangpun dari sahabat Muhajirin yang bangkit selain Thalhah,” ujar Ka’ab.
Abdullah (salah satu periwayat hadits ini) berkata, “Sehingga Ka’ab tidak melupakan Thalhah karena kejadian tersebut.”
Ka’ab
berkata: Ketika saya mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda dalam keadaan wajahnya nampak
berseri-seri karena gembira, “Bergembiralah kamu pada hari yang paling
baik semenjak kamu dilahirkan oleh ibumu!”
“Adakah dari engkau atau dari Allah wahai Rasulullah?” tanya Ka’ab.
“Bahkan dari Allah.”
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila sedang bergembira wajahnya
bersinar seakan-akan wajahnya belahan dari bulan, kitapun telah
mengenalnya. Kemudian saya duduk di hadapan beliau.
“Wahai
Rasulullah, termasuk bagian dari taubatku maka saya memberikan semua
harta kekayaanku sebagai shadaqah kepada Allah dan RasulNya,” jelas
Ka’ab.
“Tahanlah sebagian hartamu karena yang demikian itu baik bagimu!” komentar Rasulullah.
“Kalau begitu saya hanya akan menahan rampasan perang yang saya dapat di Khaibar saja,” lanjutnya.
“Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Allah Ta’ala menyelamatkan saya karena saya
jujur. Maka termasuk dari taubatku, saya tidak akan berbicara kecuali
dengan jujur selama hidupku,” kataku kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Demi Allah, saya tidak mengetahui seorang pun
di antara kaum muslimin yang telah diuji oleh Allah karena kejujurannya
seperti saya menceritakan keadaan saya dengan sejujur-jujurnya di
hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai hari ini, dan
saya berharap kepada Allah Ta’ala semoga tetap memelihara diri saya
selama saya hidup.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan firmanNya:
“Sesungguhnya Allah telah menerima
taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti
Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir
berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka. Dan terhadap tiga
orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi
telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa
merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah
mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan
kepadaNya saja. kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap
dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima Taubat lagi
Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah,
dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah:
117-119)
Ka’ab berkata, “Demi Allah, saya belum pernah merasakan
nikmat Allah yang lebih besar selain dari petunjuk yang Allah berikan
kepadaku berupa Islam. Begitu pula tidak ada yang lebih besar dari
kejujuran saya di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sehingga saya tidak berdusta kepada beliau. Seandainya saya berdusta
niscaya saya akan dibinasakan sebagaimana binasanya orang-orang yang
berdusta. Sesungguhnya Allah berfirman kepada orang-orang yang berdusta
ketika disampaikan wahyu kepada mereka dengan mensifati mereka dengan
pensifatan yang sangat buruk di mana Allah telah berfirman:
“Mereka (orang-orang munafik) akan
bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada
mereka, supaya kamu berpaling dari mereka (tidak menuntut mereka). Maka
berpalinglah mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah kotor (najis
)dan tempat mereka adalah neraka Jahannam sebagai balasan atas apa yang
telah mereka kerjakan. Mereka bersumpah padamu supaya mereka suka
padamu, tetapi seandainya kamu suka pada mereka maka sesungguhnya Allah
tidak suka terhadap orang-orang fasik.” (QS. At-Taubah: 95-96)
Ka’ab
berkata, “Kami bertiga ditangguhkan taubatnya. Adapun mereka yang telah
bersumpah dan berjanji, maka mereka langsung diterima oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dimintakan ampun kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Adapun mengenai urusan kami bertiga maka
ditangguhkan sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang
memutuskannya. Maka oleh sebab itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman, “Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan taubatnya.”
Yang
dimaksud bukanlah kami tertinggal dari perang tetapi beliau
menangguhkan taubat kami dan mendiamkan kami. Tidak seperti orang yang
bersumpah di waktu menyampaikan alasan, kemudian beliau menerima alasan
itu.
Kisah ini dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari (3470) Kitab Hadits Al-Anbiya Muslim (2766) Kitab Taubah.
Dari
buku Akhirnya Allah pun Menerima Taubat Mereka penerbit Cahaya Ilmu
Press, judul asli Syarh Riyadhus Shalihin Bab At-Taubah karya Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah.