IRONI PELAYANAN KESEHATAN

IRONI PELAYANAN KESEHATAN
LOMBA MENULIS BLOG FPKR

Senin, 27 Mei 2013

ISLAM AGAMA YANG BENAR, SEMPURNA DAN RAHMAT BAGI SELURUH ALAM


ISLAM AGAMA YANG BENAR, SEMPURNA DAN RAHMAT BAGI SELURUH ALAM
Sejak kecil, keluarga dan mayoritas lingkungan sekitar adalah kalangan muslim. Sangat melekat diingatan ketika duduk di bangku kelas 1 SD membaca buku PMP (Pendidikan Moral Pancasila) yang pada saat ini PKn (Pendidikan Kewarganegaraan). Di dalam buku tersebut menjelaskan keanekaragaman agama yang ada di Indonesia. Diantaranya Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha beserta tempat ibadahnya. Dalam hati saya bertanya, “Mengapa saya muslim?” terbesit pula kalimat “jangan-jangan Islam bukanlah agama yang benar. Jika Islam bukan agama yang benar, mungkinkah saya bisa masuk surga? Lalu agama mana yang benar?”
Akal yang belum sempurna menjadikan masa kecil belum bisa menjawab dengan benar. Boleh dikatakan agama di masa kecil merupakan agama keturunan. Bisa jadi jika terlahir dari orang tua Nasrani, agama yang dianut juga Nasrani. Namun tidak boleh mencukupkan sampai di situ. Perlu adanya pencarian lebih lanjut. Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti tahun, hingga dewasa (sempurnanya akal) terjawablah apa yang menjadi pertanyaan di masa kecil. Sehingga agama yang kita anut bukanlah hasil keturunan ayah dan ibu, namun merupakan hasil pencarian dan pilihan kita.
Dalam masalah aqidah dilarang untuk taklid buta (mengikut) tanpa melalui proses berfikir. Dengan sempurnanya akal disertai dalil, manusia akan mampu menemukan jawaban yang benar. Mengenai konsep ketuhanan, siapakah Tuhan (yang menciptakan alam semesta) ini? Apakah Yesus, para dewa, ataukah Allah?
Sebelum menjawabnya sebaiknya kita mulai dengan menjawab pertanyaan “Apakah Pencipta sesuatu yang baru keberadaannya karena diciptakan oleh zat yang lain? Baik zat lain tersebut adalah dirinya sendiri ataukah zat lain selain dirinya sendiri serta apakah Pencipta ini wajib keberadaannya karena bersifat azali (tidak ada awal dan akhirnya). Yang pertama, jika Pencipta diciptakan oleh dirinya sendiri maka Pencipta adalah makluk dan mustahil (tidak bisa diterima akal) dalam satu waktu menjadi Pencipta sekaligus menjadi makhluk. Kedua, jika Pencipta diciptakan zat lain berarti Pencipta adalah makhluk dan masih ada yang mengunggulinya. Pernyataan pertama dan kedua jelas tidak masuk akal. Maka yang benar dan dapat diterima akal adalah pernyataan ketiga, Pencipta yang sebenarnya adalah wajibul wujud (wajib keberadaannya), adanya Dia tidak bergantung kepada siapapun. Lalu siapakah Pencipta alam semesta ini? Apakah Yesus sebagaimana yang diyakini kaum Nasrani ataukah patung sesembahan? Yesus sebelum diyakini oleh kaum Nasrani sebagai Tuhan adalah seorang nabi (manusia). Jelas tampak disini bahwa Yesus bukanlah Pencipta. Lalu apakah patung? Ternyata patung diciptakan manusia, jelas patung bukanlah Pencipta karena dia adalah makhluk. Lalu siapakah Pencipta alam semesta? Dialah Allah SWT. Darimana kita meyakini Allah SWT yang menciptakan alam semesta? Tentunya dari Al Quran yaitu di dalam surat Al Ikhlas Katakanlah, “Dialah Allah, Yang Maha Esa, Allah tempat meminta segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia.”
Mengenai kebenaran Al Quran, ada tiga kemungkinan datangnya Al Quran yaitu karya dari orang arab, karya Nabi Muhammad, wahyu Allah SWT. Tidak ada kemungkinan yang lain selain tiga kemungkinan tersebut. Untuk kemungkinan pertama, karya orang Arab, jelas ini tidak mungkin karena dalam Al Quran sendiri menentang bangsa Arab untuk membuat semisal Al Quran sebanyak 10 surat namun tidak mampu, satu surat juga tidak mampu.
Sebagaimana firman Allah SWT:
Katakanlah (wahai Muhammad): "(Jika demikian tuduhan kamu), maka cobalah buat serta datangkan sepuluh surat yang sebanding dengan Al Quran itu, dan panggillah siapa saja yang kamu sanggup memanggillnya, yang lain dari Allah, jika betul kamu orang-orang yang benar". (QS Hud:13)
“ Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang memang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang yang kafir “. (QS Al Baqarah: 23-24)
Pada saat Al Quran diturunkan, saat itu pula puncak keemasan sastra Arab. Namun hingga kini tidak ada yang mampu menandingi AL Quran. Sehingga jelas bahwa Al Quran  bukanlah karya orang Arab.
Kemungkinan kedua, Al Quran berasal dari Nabi Muhammad SAW. Hal ini tidak dapat diterima akal dikarenakan Nabi Muhammad SAW juga berasal dari bangsa Arab. Bahasa Hadist dan ayat Al Quran juga berbeda.
Jika kemungkinan pertama dan kedua adalah batil, maka yang benar adalah kemungkinan ketiga yaitu Al Quran adalah berasal dari Allah SWT.

ISLAM AGAMA YANG SEMPURNA
Islam merupakan agama sempurna dan paripurna. Dia telah menyempurnakan Islam, mencukupkan nikmat-Nya dan meridhai Islam sebagai agama bagi kita
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (QS Al Maidah: 3)
Dalam Al Quran kita dapati perintah Allah, larangan, surga, neraka, kejadian masa lalu, kejadian masa mendatang dan lainnya. Allah SWT telah menetapkan berbagai hukum-Nya mulai dari shalat, zakat, haji hingga kenegaraan. Lahirlah kaidah: Al-Islâmu dîn minhu ad-dawlah (Islam adalah agama, termasuk di dalamnya negara). Banyak ayat dan hadis yang menjelaskan hal ini. Semuanya bertebaran dalam kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama shalih. Berbeda dengan agama lainnya, Islam merupakan agama yang sempurna, mulai dari ibadah spiritual, cara berekonomi, berpolitik, masalah pendidikan, kesehatan semua diatur dalam Islam. Agama dan kekuasaan bagai dua sisi mata uang.
Imam al-Ghazali berkata. “Karena itu, dikatakanlah bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak punya pondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang tidak memiliki penjaga niscaya akan musnah.” (Al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, hlm. 199).
Senada dengan itu, Ibnu Taymiyah menegaskan, “Jika kekuasaan terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.” (Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatawa, XXVIII/394).
ISLAM RAHMAT BAGI SELURUH ALAM
Pernyataan  bahwa Islam adalah agamanya yang rahmatan lil ‘alamin sebenarnya adalah kesimpulan dari firman Allah Ta’ala,
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS Al Anbiya: 107)
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam diutus dengan membawa ajaran Islam, maka Islam adalah rahmatan lil’alamin, Islam adalah rahmat bagi seluruh manusia.
Secara bahasa, rahmat artinya kelembutan yang berpadu dengan rasa iba (Lihat Lisaanul Arab, Ibnul Mandzur). Atau dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang. Jadi, diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.
Menurut Muhammad bin Ali Asy Syaukani dalam Fathul Qadir:
“Makna ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, dengan membawa hukum-hukum syariat, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia tanpa ada keadaan atau alasan khusus yang menjadi pengecualian’. Dengan kata lain, ‘satu-satunya alasan Kami mengutusmu, wahai Muhammad, adalah sebagai rahmat yang luas. Karena kami mengutusmu dengan membawa sesuatu yang menjadi sebab kebahagiaan di akhirat’ ”
Menurut Muhammad bin Jarir Ath Thabari dalam Tafsir Ath Thabari:
“Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna ayat ini, tentang apakah seluruh manusia yang dimaksud dalam ayat ini adalah seluruh manusia baik mu’min dan kafir? Ataukah hanya manusia mu’min saja? Sebagian ahli tafsir berpendapat, yang dimaksud adalah seluruh manusia baik mu’min maupun kafir. Mereka mendasarinya dengan riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu dalam menafsirkan ayat ini:
“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ditetapkan baginya rahmat di dunia dan akhirat. Namun siapa saja yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu, seperti mereka semua di tenggelamkan atau di terpa gelombang besar”, dalam riwayat yang lain: “Rahmat yang sempurna di dunia dan akhirat bagi orang-orang yang beriman kepada Rasulullah. Sedangkan bagi orang-orang yang enggan beriman, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu”
Sebagai seorang muslim tentunya kita harus bangga dengan keislaman kita, bangga dengan agama yang kita peluk.
Wallahua’lam


Liya Yuliana
FB: Anna Mujahidah Mumtazah


Minggu, 19 Mei 2013

MEMBACA ULANG SEJARAH KEBANGKITAN NASIONAL


MEMBACA ULANG SEJARAH KEBANGKITAN NASIONAL
Tepatnya tanggal 20 Mei negeri  kita tercinta Indonesia memperingati hari Kebangkitan Nasional. Berkenaan dengan didirikannya organisasi Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 oleh Dr. Sutomo dan para mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen). Padahal kenyataan sebenarnya tidaklah seperti itu. BO tidak bisa disebut sebagai organisasi yang menggagas, apalagi menggerakkan kebangkitan. Menurut Savitri Scherer dalam thesisnya di Universitas Cornell, Amerika Serikat pada tahun 1975, Boedi Oetomo hanyalah sebuah gerakan sosial bagi kepentingan kelompok priyayi non birokrat yang bersifat lokal dan rasis (Savitri Prasisiti Scherer, “Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Abad XX”, Terjemahan Jiman S. Rumbo, Jakarta: Sinar Harapan, 1985). Pasal 2 Anggaran Dasar Boedi Oetomo menyebut: Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis. Karena itu, banyak pengamat sejarah yang menolak penyematan Boedi Oetomo sebagai pelopor kebangkitan nasional. Pelaku dan penulis sejarah, KH Firdaus AN, misalnya, dengan tegas mengungkap, “Tidak pernah sekalipun rapat Boedi Oetomo membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri.”
Menurut KH Firdaus AN, Boedi Oetomo tidak memiliki andil sedikit pun dalam perjuangan kemerdekaan, karena mereka terdiri dari para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan atas Indonesia. Boedi Oetomo tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemerdekaan, karena telah lebih dulu bubar pada tahun 1935. Lalu siapa yang layak disebut sebagai sebagai penggerak kebangkitan dan kesadaran perlawanan terhadap penjajah Belanda? Itulah Sarikat Islam (SI). keanggotan SI berbeda dengan BO yang hanya untuk suku tertentu. SI terbuka bagi seluruh rakyat Indonesia. Haji Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumatera Barat dan AM. Sangaji dari Maluku. Penyebaran SI juga menasional. Tahun 1916 tercatat ada 181 cabang SI di seluruh Indonesia dengan sekitar 700.000 anggota. Tahun 1919 anggota SI melonjak drastis hingga 2 juta orang. Ini adalah angka yang fantastis kala itu. Adapun Boedi Oetomo pada masa jayanya saja hanya beranggotakan tak lebih dari 10.000 orang.
Jadi, SI-lah pelopor yang sebenarnya dari kebangkitan yang bersifat nasional. Lalu mengapa sejarah menempatkan Boedi Oetomo sebagai pelopor? Dari sini terlihat kecenderungan adanya usaha peminggiran Islam atau bahkan menghilangkan spirit Islam dari perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia.
Umat Islam memiliki peran sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan dalam menumbuhkan kebangkitan. Peperangan yang terjadi pada abad ke-19 melawan penjajah Belanda selalu bernafaskan jihad. Ketika Pangeran Diponegoro memanggil sukarelawan, kebanyakan dari mereka yang tergugah adalah para ulama dan ustadz dari berbagai pelosok desa. Pemberontakan petani menentang penindasan yang berlangsung terus-menerus sepanjang masa penjajahan selalu di bawah bendera Islam. Demikian pula perlawanan yang dilakukan oleh Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar dan diteruskan oleh Cut Nyak Dien dari tahun 1873-1906 adalah jihad melawan Belanda.
Dalam proses kemerdekaan pun, peran umat sangatlah sentral. Di sana terdapat tokoh-tokoh umat seperti KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, KH Kahar Muzakkir dan lainnya yang menjadi anggota BPUPKI dan PPKI. Mereka bukan sekadar menginginkan Indonesia merdeka, tetapi juga gigih memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Setelah kemerdekaan, peran umat Islam juga tetap sentral. Resolusi Jihad yang didengungkan oleh KH Hasyim Asy’ari menggetarkan pasukan NICA-Belanda yang ingin masuk lagi ke Indonesia dengan membonceng pasukan sekutu. Resolusi ini juga menjadi tonggak penting bagi pembentukan TNI melalui Hizbullah yang asalnya terdiri dari para santri dan ulama.
Demikian “kejam” sejarah meminggirkan peran umat Islam. Bahkan Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari yang sangat fenomenal itu tidak tertulis sama sekali dalam sejarah nasional. Ini sangat aneh, karena sesungguhnya tidak pernah ada perlawanan Bung Tomo di Surabaya, yang kemudian dicatat sebagai Hari Pahlawan, tanpa Resolusi Jihad. Resolusi inilah yang mendorong Bung Tomo dan para pemuda Surabaya ketika itu berani bergerak melawan Belanda.
Yang kita baca sekarang dalam buku-buku sejarah bukanlah fakta sejarah, tetapi perumusan terhadap fakta sejarah pada masa lalu. Sejarah sangat bergantung pada siapa yang merumuskan atau menuliskan dan atas dasar kepentingan apa sejarah itu ditulis. Karena itu, sejarah sesungguhnya sangat bergantung pada lingkup politik yang dominan saat sejarah itu ditulis. Tentu bukan sebuah kebetulan belaka ketika sejarah Kebangkitan Nasional didasarkan pada kelahiran Boedi Oetomo, bukan Sarikat Islam, yang sejatinya tidaklah tepat untuk dijadikan tonggak sejarah penting itu. Ini sebagaimana Hari Pendidikan Nasional yang bukan didasarkan pada kelahiran Muhammadiyah dengan sekolah pertama yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan, berbelas tahun sebelum Ki Hadjar mendirikan Taman Siswa. Sebab, bila itu dilakukan maka yang akan tersembul adalah spirit atau semangat Islam. Dalam setting politik penguasa, itu tidak dikehendaki.
Tokoh-tokoh umat pada masa lalu, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan Indonesia, sangat memahami bahwa setiap Muslim mempunyai kewajiban dalam amar makruf nahi mungkar, perjuangan mengusir penjajah dan menegakkan ‘izzul Islam wal Muslimin. Pangeran Diponegoro dan Cut Nyak Dien ketika melawan Belanda, KH Hasyim Asy’ari dengan Resolusi Jihad-nya, KH Wahid Hasyim dengan perjuangan untuk Islam sebagai dasar negara, KH Ahmad Dahlan untuk perjuangan pentingnya pendidikan Islami, atau para pahlawan terdahulu lainnya yang semua berjuang dengan spirit Islam.
Oleh karena itu, kinilah saatnya membaca ulang sejarah kebangkitan nasional, sejarah pendidikan nasional dan sejarah nasional lainnya secara kritis dan obyektif. Sejarah sebagaimana kisah dalam al-Quran, mengandung ibrah atau pelajaran. Penyimpangan atau penutupan sejarah dari fakta yang sebenarnya tentu akan menutupi ibrah yang mestinya didapat, yakni spirit Islam dalam perjuangan negeri ini.

By: Anna Mujahidah Mumtazah, 
Bojonegoro, 20 Mei 2013

MEMBACA ULANG SEJARAH KEBANGKITAN NASIONAL
Tepatnya tanggal 20 Mei negeri  kita tercinta Indonesia memperingati hari Kebangkitan Nasional. Berkenaan dengan didirikannya organisasi Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 oleh Dr. Sutomo dan para mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen). Padahal kenyataan sebenarnya tidaklah seperti itu. BO tidak bisa disebut sebagai organisasi yang menggagas, apalagi menggerakkan kebangkitan. Menurut Savitri Scherer dalam thesisnya di Universitas Cornell, Amerika Serikat pada tahun 1975, Boedi Oetomo hanyalah sebuah gerakan sosial bagi kepentingan kelompok priyayi non birokrat yang bersifat lokal dan rasis (Savitri Prasisiti Scherer, “Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Abad XX”, Terjemahan Jiman S. Rumbo, Jakarta: Sinar Harapan, 1985). Pasal 2 Anggaran Dasar Boedi Oetomo menyebut: Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis. Karena itu, banyak pengamat sejarah yang menolak penyematan Boedi Oetomo sebagai pelopor kebangkitan nasional. Pelaku dan penulis sejarah, KH Firdaus AN, misalnya, dengan tegas mengungkap, “Tidak pernah sekalipun rapat Boedi Oetomo membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri.”
Menurut KH Firdaus AN, Boedi Oetomo tidak memiliki andil sedikit pun dalam perjuangan kemerdekaan, karena mereka terdiri dari para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan atas Indonesia. Boedi Oetomo tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemerdekaan, karena telah lebih dulu bubar pada tahun 1935. Lalu siapa yang layak disebut sebagai sebagai penggerak kebangkitan dan kesadaran perlawanan terhadap penjajah Belanda? Itulah Sarikat Islam (SI). keanggotan SI berbeda dengan BO yang hanya untuk suku tertentu. SI terbuka bagi seluruh rakyat Indonesia. Haji Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumatera Barat dan AM. Sangaji dari Maluku. Penyebaran SI juga menasional. Tahun 1916 tercatat ada 181 cabang SI di seluruh Indonesia dengan sekitar 700.000 anggota. Tahun 1919 anggota SI melonjak drastis hingga 2 juta orang. Ini adalah angka yang fantastis kala itu. Adapun Boedi Oetomo pada masa jayanya saja hanya beranggotakan tak lebih dari 10.000 orang.
Jadi, SI-lah pelopor yang sebenarnya dari kebangkitan yang bersifat nasional. Lalu mengapa sejarah menempatkan Boedi Oetomo sebagai pelopor? Dari sini terlihat kecenderungan adanya usaha peminggiran Islam atau bahkan menghilangkan spirit Islam dari perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia.
Umat Islam memiliki peran sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan dalam menumbuhkan kebangkitan. Peperangan yang terjadi pada abad ke-19 melawan penjajah Belanda selalu bernafaskan jihad. Ketika Pangeran Diponegoro memanggil sukarelawan, kebanyakan dari mereka yang tergugah adalah para ulama dan ustadz dari berbagai pelosok desa. Pemberontakan petani menentang penindasan yang berlangsung terus-menerus sepanjang masa penjajahan selalu di bawah bendera Islam. Demikian pula perlawanan yang dilakukan oleh Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar dan diteruskan oleh Cut Nyak Dien dari tahun 1873-1906 adalah jihad melawan Belanda.
Dalam proses kemerdekaan pun, peran umat sangatlah sentral. Di sana terdapat tokoh-tokoh umat seperti KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, KH Kahar Muzakkir dan lainnya yang menjadi anggota BPUPKI dan PPKI. Mereka bukan sekadar menginginkan Indonesia merdeka, tetapi juga gigih memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Setelah kemerdekaan, peran umat Islam juga tetap sentral. Resolusi Jihad yang didengungkan oleh KH Hasyim Asy’ari menggetarkan pasukan NICA-Belanda yang ingin masuk lagi ke Indonesia dengan membonceng pasukan sekutu. Resolusi ini juga menjadi tonggak penting bagi pembentukan TNI melalui Hizbullah yang asalnya terdiri dari para santri dan ulama.
Demikian “kejam” sejarah meminggirkan peran umat Islam. Bahkan Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari yang sangat fenomenal itu tidak tertulis sama sekali dalam sejarah nasional. Ini sangat aneh, karena sesungguhnya tidak pernah ada perlawanan Bung Tomo di Surabaya, yang kemudian dicatat sebagai Hari Pahlawan, tanpa Resolusi Jihad. Resolusi inilah yang mendorong Bung Tomo dan para pemuda Surabaya ketika itu berani bergerak melawan Belanda.
Yang kita baca sekarang dalam buku-buku sejarah bukanlah fakta sejarah, tetapi perumusan terhadap fakta sejarah pada masa lalu. Sejarah sangat bergantung pada siapa yang merumuskan atau menuliskan dan atas dasar kepentingan apa sejarah itu ditulis. Karena itu, sejarah sesungguhnya sangat bergantung pada lingkup politik yang dominan saat sejarah itu ditulis. Tentu bukan sebuah kebetulan belaka ketika sejarah Kebangkitan Nasional didasarkan pada kelahiran Boedi Oetomo, bukan Sarikat Islam, yang sejatinya tidaklah tepat untuk dijadikan tonggak sejarah penting itu. Ini sebagaimana Hari Pendidikan Nasional yang bukan didasarkan pada kelahiran Muhammadiyah dengan sekolah pertama yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan, berbelas tahun sebelum Ki Hadjar mendirikan Taman Siswa. Sebab, bila itu dilakukan maka yang akan tersembul adalah spirit atau semangat Islam. Dalam setting politik penguasa, itu tidak dikehendaki.
Tokoh-tokoh umat pada masa lalu, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan Indonesia, sangat memahami bahwa setiap Muslim mempunyai kewajiban dalam amar makruf nahi mungkar, perjuangan mengusir penjajah dan menegakkan ‘izzul Islam wal Muslimin. Pangeran Diponegoro dan Cut Nyak Dien ketika melawan Belanda, KH Hasyim Asy’ari dengan Resolusi Jihad-nya, KH Wahid Hasyim dengan perjuangan untuk Islam sebagai dasar negara, KH Ahmad Dahlan untuk perjuangan pentingnya pendidikan Islami, atau para pahlawan terdahulu lainnya yang semua berjuang dengan spirit Islam.
Oleh karena itu, kinilah saatnya membaca ulang sejarah kebangkitan nasional, sejarah pendidikan nasional dan sejarah nasional lainnya secara kritis dan obyektif. Sejarah sebagaimana kisah dalam al-Quran, mengandung ibrah atau pelajaran. Penyimpangan atau penutupan sejarah dari fakta yang sebenarnya tentu akan menutupi ibrah yang mestinya didapat, yakni spirit Islam dalam perjuangan negeri ini.

Senin, 13 Mei 2013

AGAR HIDUP LEBIH BERMAKNA


AGAR HIDUP LEBIH BERMAKNA
Tujuan penciptaan manusia sebagaimana firman Allah dalam surat Adz Dzariyat 56 yang artinya “Dan tidaklah aku mnciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah-Ku”
Modal yang dimiliki manusia
1.      WAKTU

Selama masih ada nafas, waktu dimiliki oleh manusia, ia tidak dapat dijual, tidak dapat pula dibeli meskipun dengan emas berjuta ton. Itulah waktu. Ia tidak dapat kembali namun senantiasa berjalan tanpa henti. Sungguh indahnya peringatan Allah kepada hambanya atas waktu yang diberikan kepada hamba-Nya. Firman Allah dalam surat Al Ashr ”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran”
Allah akan meminta pertanggungjawaban dari setiap manusia untuk apa saja waktu yang Allah berikan untuk hamba-Nya. Dalam suatu hadist disebutkan :
“ Tidak tergelincir dua kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga Allah menanyakan empat hal :
Umurnya, untuk apa selama hidupnya dihabiskan
Waktu mudanya, digunakan untuk apa saja
Hartanya, darimana dia mendapatkan dan untuk apa saja dihabiskannya
Ilmunya, apakah diamalkan atau tidak ” ( Hadist Hasan, HR. Tirmidzi )
Para ulama dahulu telah memberikan contoh kepada kita bagaimana memanfaatkan waktu yang terbatas untuk mengerjakan lebih dari satu kegiatan :
Diriwayatkan bahwa Khatib Al Baghdadi salah seorang ulama hadist yang sangat terkenal, jika ia berjalan mesti ditangannya ada sebuah buku yang dibacanya ”
Imam Sulaim Ar Razi , salah seorang ulama Syafi’ah yang meninggal tahun 447 H, selalu mengisi waktu-waktunya dengan pekerjaan yang bermanfaat. Berkata Ibnu Asakir : ” Saya pernah diceritakan oleh guruku : Abu Farj Al Isfirayini bahwa beliau pada suatu saat keluar dari rumahnya untuk suatu keperluan, kemudian tidak berapa lama datang lagi sambil berkata : ” Saya telah membaca satu juz dari al Qur’an selama saya di jalan ” . Berkata Abu Faraj : ” Saya pernah diceritakan oleh Muammil bin Hasan bahwa pada suatu hari ia melihat pena Sulaim Ar Razi rusak dan tumpul, ketika ia memperbaiki penanya tersebut terlihat ia menggerak-gerakkan mulutnya , setelah diselidiki ternyata di membaca Al Qur’an di sela-sela memperbaiki penanya, dengan tujuan agar tidak terbuang begitu saja waktunya dengan sia-sia. ” ([3])
Abu Al Wafa’ Ibnu Uqail, salah satu tokoh dalam Madzhab Hambali mampu menyingkat waktu makan dengan memilih makan yang praktis, beliau bisa memanfaat perbedaan waktu makan roti kering dengan roti yang diberi air , untuk membaca 50 ayat Al Qur’an. ([4])
Abu Al Barakat, kakek Ibnu Taimiyah, jika ia masuk kamar mandi atau WC , ia menyuruh saudaranya untuk membacakan sebuah buku dengan suara keras agar dia bisa mendengarnya. ([5])
2.      AKAL
Yang membedakan antara manusia dengan makhluk Allah lainnya adalah akal.
3.      KESEHATAN
Sabda Rasul:
” Dua nikmat yang kebanyakan manusia rugi di dalamnya : Kesehatan dan Kesempatan ” ( HR Bukhari )
Agar hidup kita bermakna maka harus mampu memanage diri sehingga setiap detik adalah waktu yang memberi manfaat bagi kehidupan kita di akhirat. Hal ini dapat ditempuh dengan menjalankan kewajiban, mengupayakan sunah, meminimalkan yang mubah, menghindari yang makruh dan tidak melakukan yang diharamkan.
Wajib: sholat, zakat, puasa, haji jika mampu, menuntut ilmu, amar ma’ruf nahi mungkar, menutup aurat, berbakti kepada kedua orangtua dll
Sunah: shalat sunah, sedekah dll
Mubah: bermain, nonton TV dll
Makruh: merokok
Haram: riba, memakan yang diharamkan dll
Rasulullah s.a.w pernah mengungkapkan keutamaan amal jariah di antara semua jenis kebajikan, iaitu pahalanya tetap mengalir walaupun orang yang melakukannya telah tiada (wafat). Sabda Rasulullah s.a.w:
“Apabila meninggal anak cucu Adam (manusia), maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal yaitu sedekah jariah, ilmu yang diambil manfaatnya oleh manusia, dan anak yang soleh yang berdoa untuknya.” (Riwayat Ahmad).        
Dalam hadis-hadis berikut, Rasulullah s.a.w menyebutbeberapa jenis amal jariah yang berkait langsung dengan kepentingan masyarakat. Baginda bersabda:
“Sesungguhnya amal soleh yang akan menyusul seorang mukmin setelah dia meninggal dunia kelak ialah ilmu yang dia ajarkan dan sebarkan, anak soleh yang dia tinggalkan, mushaf Al-Quran yang dia wariskan, masjid yang dia bangun, rumah tempat singgah musafir yang dia dirikan, air sungai (irigasi) yang dia alirkan, dan sedekah yang dia keluarkan di kala sihat dan masih hidup. Semua ini akan menyusul dirinya ketika dia meninggal dunia kelak.” (Riwayat Ibnu Majah dan Baihaqi)   
Rasulullah s.a.w menyatakan, “Meskipun kiamat sedang terjadi, sedang di tangan salah seorang di antara kamu masih ada bibit kurma dan dia masih kuat untuk menanamnya, hendaklah dia tanam bibit itu, kerana baginya ada ganjaran pahala.” (Riwayat Bukhari)

Dari berbagai sumber
Oleh Anna Mujahidah Mumtazah di Kajian UKKI IKIP PGRI BOJONEGORO 20 Maret 2013