IRONI PELAYANAN KESEHATAN

IRONI PELAYANAN KESEHATAN
LOMBA MENULIS BLOG FPKR

Senin, 10 Juni 2013

72 % RAKYAT INDONESIA DUKUNG SYARIAH



72 % RAKYAT INDONESIA DUKUNG SYARIAH
Tepatnya 17 Agustus 1945, Indonesia merdeka (bebas dari penjajahan fisik). Terhitung hingga artikel ini ditulis, 67 tahun telah berlalu. Selama ini pula Indonesia menyelenggarakan pemilu sebanyak 10 kali. Dalam sejarah panjang ini sudahkah rakyat Indonesia merasa benar-benar merdeka? Ataukah merdeka hanya sekedar cita-cita perjuangan para pahlawan terdahulu? Dengan umur 67 tahun, idealnya bangsa ini telah banyak meraih impiannya. Segala potensi dan sumber daya telah dimiliki Indonesia, didukung oleh jumlah SDM yang tersebar di penjuru negeri. Namun fakta berbicara lain negeri ini belum merdeka dari kemiskinan, kebodohan, kerusakan moral dan keterbelakangan.
Pergantian rezim dari masa ke masa seakan memberikan hasil nihil. Mulai orde lama dengan komunismenya, orde baru dengan kapitalismenya, orde reformasi yang condong ke arah liberal. Ketiga masa ini menjadikan akal manusia melalui waki rakyat sebagai sumber hukum. Dalam sistem pemerintahan demokratik yang menempatkan rakyat sebagai pihak berdaulat telah menimbulkan nestapa modern. Diadopsinya sistem pemerintahan demokrasi yang berimplikasi logis kepada sekulerisme telah menimbulkan berbagai problematika. Mulai ekonomi, politik, kesehatan, pendidikan, dan lainnya.
A Sorokin menyebut dengan The Crisis of Our Age. Sayyed Hossen Nasser menyebut abad sekarang dengan istilah ‘Nestapa Manusia Modern’, Luis Leahy menyebut dengan ‘Kekosongan Rohani’. Gustave Jung mengomentari peradaban sekarang dengan ‘Gersang Psikologis’. Peter Berger menyatakan, bahwa masyarakat kapitalis selalu bercorak sekuler (memisahkan agama dari kehidupan).
Adapun masyarakat yang sekuler cenderung memarginalkan peran agama, bahkan ada kecenderungan untuk mereduksi agama menjadi subsistem yang tidak lagi berarti. Pembagian kekuasaan dengan alasan menghilangkan otoritarianisme terbukti telah menimbulkan dualisme kepemimpinan serta kaburnya batas wewenang masing-masing lembaga negara. Padahal, dengan adanya dualisme kepemimpinan akan menimbulkan kontraksi-kontraksi kekuasaan yang berakibat pada konflik elit politik. Konflik elit politik akan berbuntut pada dikorbankannya kepentingan-kepentingan publik dan terabaikannya urusan rakyat.
Ditempatkannya rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara, mengakibatkan munculnya aturan-aturan bias, kepentingan, dan ketidakmampuan memberikan jawaban tuntas serta mendasar atas problem manusia. Jika kita menengok sejarah, tercatat 13 abad lamanya Islam Berjaya. Selama itu pula aturan Allah yang menjadi sandaran, meski beberapa kurun waktu terdapat kesalahan penerapan (isaatut tatbiq). Dapat kita jumpai pula pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, meski hanya kurang lebih 2,5 tahun memerintah, zakat tercecer di jalan. Hal ini dikarenakan seluruh masyarakat tidak ada yang miskin. Kezuhudan sang khalifah juga begitu tinggi, bahkan tatkala keluarganya mengajak untuk membicarakan urusan keluarga, nyala lampu yang ia gunakan milik negara sekaligus dimatikan. Sehingga menyalakan lampu dengan minyak dari keluarga. Begitu besar kehati-hatian beliau.
Tepat tanggal 27 Rajab 583 H, Shalahuddin Al-Ayubi membebaskan bumi al-Quds dengan tanpa sedikitpun perlawanan dari kaum salibis dan mereka dibiarkan. Kondisi ini sangat bertolak belakang ketika kaum salibis menjarah al-Quds, banyak anak-anak, orang tua, perempuan yang dibantai. Rupanya, kaum kafir memendam rasa dendam membara untuk menghancurkan Islam. Hingga akhirnya, pada 28 Rajab 1342 H, bertepatan dengan 3 Maret 1924, seorang pengkhianat kaum Muslim, Mustafa Kemal at-Turk, meruntuhkan Khilafah Islamiyyah (Islamic Caliphate). Akibatnya, kaum Muslim ibarat ayam telah kehilangan induk.
Sungguh Rasul telah menyampaikan risalah kepada kita dalam sebuah hadist, Dari Nu’man bin Basyiir berkata: Suatu saat kami sedang duduk bersama Rasulullah SAW, dan Basyir adalah orang yang dapat menahan perkataan. Maka datang Abu Tsa’labah Al-Khasyani dan berkata:”Wahai Basyir bin Sad apakah engkau hafal tentang hadits Rasulullah SAW pada masalah kepemimpinan
Berkata Hudzaifah:” Saya hafal ungkapannya. Maka duduklah Abu Tsa’alabah, maka Hudzaifah berkata: Rasulullah SAW bersabda:” Kalian akan mengalami masa kenabian sampai Allah menghendaki kemudian Allah angkat (masa kenabian tersebut) jika Allah menghendakinya. Seterusnya masa khilafah dengan manhaj kenabian sampai Allah menghendaki, kemudian Allah mengangkatnya jika Allah menghendakinya. Seterusnya masa raja yang menggigit sampai Allah menghendakinya, kemudian Allah mengangkatnya jika Allah menghendakinya. Seterusnya masa raja diktator sampai Allah menghendakinya, kemudian Allah mengangkatnya jika Allah menghendakinya. Seterusnya masa khilafah dengan manhaj kenabian, kemudian diam”
Masa kenabian, khilafah manhaj kenabian yang pertama, masa raja menggigit sudah berlalu, kini menempati masa keempat yakni pemerintahan diktator, setelah ini tidak lain adalah masa kelima yaitu khilafah manhaj kenabian yang kedua. Jika kita cermati rezim diktator telah diambang kehancuran. Menurut Survey Pew Research Center 72% rakyat Indonesia dukung syariah. Di Suriah sudah bergema suara dan gerakan para mujahidin untuk menyerukan syariah Islam.
Allah berfirman: "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (TQS. An-Nur: 55).
Islam akan kembali berjaya sebagaimana janji Allah dan kabar gembira dari Rasulullah SAW. Dalam sistem Islam, kekuasaan ada di tangan rakyat. Kedaulatan berada di tangan syara’, artinya aturan yang digunakan bersumber dari Al Quran dan hadist Rasulullah SAW, bukan lagi buatan manusia melalui perwakilan. Kebijakan pemimpin (khalifah) bersandar pada aturan Allah SWT. Allahu A’lam

Pengirim:
Anna Mujahidah Mumtazah
Guru di Bojonegoro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar