Ramadan
bulan mulia, penuh ampunan, bulan ujian kesabaran. Betapa tidak, kaum muslim
menahan haus, lapar, hawa, nafsu dari fajar hingga terbenamnya matahari. Siangnya
berpuasa, malamnya salat tarawih, tadarus dan ibadah lainnya. Hanya orang
beriman yang Allah wajibkan untuk berpuasa sebagaimana firman Allah SWT
dalam surat Al Baqarah 183, “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
Dalam ayat ini buah dari puasa adalah takwa kita kepada Allah SWT.
Di
bulan ini kita jumpai manusia terlihat lebih taat dibandingkan hari-hari di
bulan lainnya. Jika di bulan selain ramadan banyak kaum wanita membuka aurat,
kini mendadak taubat menutup aurat (meski terkadang lekuk tubuh masih
ditampakkan). Begitu juga dengan
kebiasaan ibu-ibu yang ngerumpi (ghibah), di bulan ramadan tak lagi ada
ghibah. Para artis dan muslimah lainnya yang biasanya gemar umbar aurat kini
mendadak tutup aurat, meski kebiasaan yang lalu taubat cabe (taubat sementara).
Ramadan taat, selesai ramadan kembali maksiat. Naudzubillah.
Mengutip
sebuah buku habits karya ustad Felix Siaw (seorang inspirator yang juga
muallaf) bahwasanya untuk menjadikan sesuatu itu bisa dilakukan butuh
kebiasaan. Jika di bulan ramadan kaum muslim terbiasa taat maka seharusnya di
bulan lainnya pun dapat menjadi hamba Allah yang taat. Awalnya menutup aurat
itu berat namun setelah menjadi kebiasaan beratnya tidak lagi dalam
melaksanakan, namun berat untuk melanggarnya. Saat terbiasa menutup aurat
justru saat aurat tanpa sadar terbuka, maka serasa hati berat, resah dan gudah
gulana. Untuk terbiasa taat, maka moment ramadan adalah saat yang tepat
biasakan diri taat dan stop maksiat.
Namanya
juga taat, ujian pun semakin hebat. Bukankah Allah berfirman dalam Al
Quran “Apakah manusia itu mengira
bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman”, sedang mereka
tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum
mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan
sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut 2-3)
Banyak
kita jumpai kaum muslim yang mengatakan saya ingin taubat dan berhenti maksiat
tapi kok belum siap. Saya ingin menjadi muslim yang taat tapi nanti setelah
mendapat hidayah dan segudang alasan lainnya. Jika bermaksiat saja kita tanpa
tapi dan tanpa nanti namun mengapa giliran untuk taat selalu ada kata nanti dan
tapi?
Nah,
ramadan ini jadikan moment perubahan besar pada diri untuk taat kepada Allah.
Pun jika orang lain mengejek, woles saja, anggap saja angin lalu. Sebab surga
didapat bukan karena jika kita menurutinya, namun menuruti aturan Allah. Jika
pun kita di puji harus waspada, ingat kita melakukan semua bukan untuk pujian
manusia, namun karena berharap ridha Allah itu ada untuk kita. Saat kita
berazam untuk taat tanpa tapi dan taat tanpa nanti pasti selalu dan selalu ada
jalan. Bukankah Allah berfirman: “Hai orang‐orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan
menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (Q.S Muhammad :7). Yakin saja bahwa
pertolongan Allah itu sangatlah dekat, kapanpun dan dimanapun.
Tidak
ada ketaatan tanpa ujian. Agar ketaatan itu selalu menancap pada diri kita
langkah selanjutnya adalah memupuk akal dan hati dengan ilmu. Ilmu tentang
Islam, di sana iman kita akan senantiasa dikuatkan. Tidak lupa berkumpul dengan
para ulama, orang shalih. Sehingga saat kita berusaha melenceng dari rel tentu
mereka mengingatkan kita untuk menuju jalan kebenaran Islam. (AMM)
Di muat di radar Bojonegoro 20 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar