IRONI PELAYANAN KESEHATAN

IRONI PELAYANAN KESEHATAN
LOMBA MENULIS BLOG FPKR

Selasa, 05 Mei 2015

KARTINI TAK INGINKAN EMANSIPASI






KARTINI TAK INGINKAN EMANSIPASI
“Ibu kita Kartini, putri sejati, putri Indonesia harum namanya”. Begitulah lagu yang sering didengungkan oleh anak didik untuk mengenang jasa Kartini. Di saat kaum adam bersekolah, kaum hawa tak berkesempatan sebagaimana kaum adam. Hati nurani Kartini pun berontak. Tak rela jika kaum hawa bodoh tiada terkira. Sementara penjajahan kian mendera. Hingga detik ini, kaum hawa dapat merasakan manisnya mengenyam pendidikan tak lepas dari jasa beliau.
Tepatnya 21 April bangsa Indonesia memperingati hari Kartini. Untuk menghormati jasanya, sekolah maupun lembaga tak mau ketinggalan mengikuti berbagai event. Mulai ajang pameran pakaian kebaya, karnaval, ajang lomba, aneka dandanan dengan bersanggul dan lainnya. Pada event tersebut seakan kecantikan kaum hawa wajib ditampakkan. Sejak dini, anak kecil pun dididik bermake up, dengan harapan merayakan sekaligus menghargai jasa sosok pahlawan perempuan.
 Di sisi lain kaum feminis kian gencar mengopinikan ide emansipasi (kesetaraan wanita dengan kaum priadi ranah politik, publik). Seakan gagasan  RA Kartini identik dengan emansipasi wanita. Mereka mengopinikan agar wanita setara dengan kaum pria, baik dalam ranah politik, publik maupun dalam rumah tangga. Bagi mereka, suatu ketidakadilan saat kaum adam bekerja di luar rumah, sementara kaum hawa hanya mengurus rumah tangga saja mendidik anak-anak mereka. Kaum wanita seakan terkungkung tanpa memiliki kebebasan.
Perang pemikiran yang dilakukan kaum feminis semakin mendapat lahan subur dan angin segar, buktinya banyak dibuka lowongan pekerjaan yang mengkhususkan pekerjanya adalah kaum wanita. Aneka iklan di televisi juga memanfaatkan kemolekan dan jasa kecantikan kaum hawa. Wanita sedemikian bebasnya bergaul dengan laki-laki. Tak sedikit kita jumpai kaum hawa terjerumus dalam aktivitas ikhtilat (campur baur laki-laki dengan wanita). Kecantikan kaum hawa tak lagi terkhusus suaminya, akan tetapi dapat menjadi barang dagangan yang laris manis dilemparkan ke pasaran maupun iklan gratis bagi penonton layar kaca. Mulai iklan sabun, kendaraan bermotor dan lainnya tak lepas dari jasa kecantikan kaum hawa. Sungguh ironis.
Sejarah Feminisme
Terlepas dari keterlibatan RA. Kartini sebagai pejuang dalam pemberdayaan perempuan di Indonesia, emansipasi sebenarnya diilhami dari gerakan feminisme di barat. Pada abad ke-19, muncul benih-benih yang dikenal dengan feminisme yang kemudian terhimpun dalam wadah Women’s Liberation (Gerakan Pembebasan Wanita).
Gerakan yang berpusat di Amerika Serikat ini berupaya menjadikan kesamaan hak serta menghendaki adanya kemandirian dan kebebasan bagi perempuan.  Pada tahun 1960, isu feminisme berkembang di AS. Tujuannya adalah menyadarkan kaum wanita bahwa pekerjaan yang dilakukan di sektor domestik (rumah tangga) merupakan hal yang tidak produktif. Kemunculan isu ini karena diilhami oleh buku karya Betty Freidan berjudul The Feminine Mystiquue (1963). Freidan mengatakan bahwa peran tradisional wanita sebagai ibu rumah tangga adalah faktor utama penyebab wanita tidak berkembang kepribadiannya. Ide ini hingga kini menjangkit kaum hawa.
Kaum feminis tak hentinya menuduh Islam sebagai penghambat kemajuan. Ketaatan istri terhadap suami dianggap diskriminasi. Tugas ibu mendidik anak-anaknya dan tampil di belakang layar dianggap sebagai kaum terbelakang. Tampilnya wanita di luar rumah dianggap sebagai kemajuan, meski anak telantar. Busana muslimah yang seharusnya digunakan untuk menutup aurat dengan memakai jilbab (Q.S Al-Ahzab:59) dan kerudung (Q.S An-Nur:31) dianggap mengungkung kebebasan berekspresi kaum perempuan. Lalu benarkah R.A Kartini dalam sejarahnya merupakan pahlawan emansipasi, sebagaimana yang diklaim oleh para pengusung ide feminis? Ternyata hal ini bertolak belakang.

Cita-cita Kartini
Dalam sebuah surat yang ditulis Kartini, nampaknya beliau tak inginkan emansipasi sebagai mana yang tengah getol diperjuangkan oleh kaum feminis. sebagaimana terlihat dalam tulisan Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya pada 4 oktober 1902, yang isinya, “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” Dalam surat tersebut tampak RA Kartini tak inginkan persaingan dengan laki-laki di kancah publik, namun beliau menuntut agar kewajiban menuntut ilmu dapat terpenuhi. Menuntut ilmu  merupakan kewajiban yang dibebankan Allah kepada kaum hawa dan kaum adam. Jika kaum hawa yang berilmu, beliau berharap agar kaum hawa dapat mendidik anak-anaknya dengan ilmunya. Dalam Islam ibu adalah sosok yang pertama dan utama dalam mendidik anak-anaknya. Saat ibu tiada memiliki ilmu, maka apa yang akan diberikan kepada anaknya? Mengutip pepatah Arab faqidu syai' la yu'thi.. “ (siapa yang tidak punya, maka dia tidak bisa memberi). Apa yang mau diberikan, jika tidak memiliki apa-apa.
Pada saat Kartini mempelajari Islam, beliau terinspirasi dengan firman Allah SWT yang artinya “…mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman) (QS al-Baqarah ayat 257),” yang diistilahkan Armyn Pane dalam tulisannya dengan, “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Dari masa kebodohan wanita tanpa aksara (buta huruf) menuju wanita cerdas yang kelak mampu mendidik dan menjadikan anaknya berkepribadian unggul dan terpercaya.
Dari sini tampak bahwa ide feminisme bukan hal yang dikumandangkan Kartini, namun pendidikan yang adil bagi kaum wanita dan  laki-laki. Karena sejatinya kewajiban menuntut ilmu tak hanya kau m adam, namun terbebankan pula kepada kaum hawa. Dihadapan Allah kaum adam dan kaum kawa sama, yang membedakannya hanyalah takwanya. Namun bukan berarti sama dalam hal  kewajiban lainnya (mencari nafkah, mengisi ruang politik). Di saat Allah menitipkan sang buah hati, ibu memiliki kewajiban mendidik anaknya, pengatur urusan rumah tangga, bukan menjadi korban kebebasan maupun iklan kecantikan. Jika pun seorang ibu menginginkan belerja maka mubah (boleh) hukumnya tanpa mengesampingkan kewajibannya sebagai pengatur urusan rumah tangga. Allahu A’lam
sumber: Liya Yuliana (AMM dalam radar Bojonegoro 16 April 2015)

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Subhanallaah Luar Biasa, Sungguh Kartini adalah Seorang Muslimah Pejuang Sejati.....

    ferriamanullah.blogspot.com

    BalasHapus