Rasulullah manusia yang maksum (terbebas dari dosa). Manusia teladan di
akhir zaman pada masa dan setelahnya. Tutur katanya penuh hikmah, diamnya tanda
kebolehannya. Diantara mu’jizat yang diberikan Allah kepada manusia mulia ini
adalah perjalanan Isra’ dan Mi’raj.
Setelah mengalami penyiksaan fisik sepeninggal pamannya Abu Thalib,
disusul tekanan dan penderitaan akibat ditinggalkan oleh istri tercinta yang
setia mendampinginya dalam suka dan duka, kemudian kegagalan cita-citanya saat
pergi ke Thaif, maka Allah hendak menghormatinya dengan perjalanan yang penuh
berkah. Sebuah perjalanan yang tiada seorang pun pernah mendapatkannya. Sebuah
perjalanan dimana beliau memimpin salat bersama para nabi. Perjalanan terindah
sepanjang sejarah.
Tentu terbesit pertanyaan dalam akal dan hati kita. Bagaimana
proses perjalanan itu hingga dalam semalam dapat menembus Sidratul Muntaha?
Seberapa cepatkah? Sebagaimana kita ketahui kecepatan cahaya menurut para
ilmuwan adalah sebesar 300.000.000 m/s atau 300.000 km/s. Untuk mampu
mencapai bintang nan jauh di langit tingkat satu saja konon membutuhkan waktu
jutaaan tahun dengan kecepatan cahaya. Pun jika manusia bergerak dengan kecepatan
cahaya maka bisa jadi jasad manusia sudah rusak. Allahu Akbar, Allah
menunjukkan kekuasaan-Nya.
Bukanlah Isra dan Mi’raj itu kehendak Rasulullah namun sebuah
peristiwa yang dikehendaki oleh Allah. Bagaimana pula cara rasul untuk sampai
kesana? Bagaimana saat beliau menembusnya tanpa persediaan oksigen, sedangkan
di atas sana bisa jadi oksigen tiada tersedia? Allahu A’lam. Hanya Allah yang
mengetahui kesemuanya ini. Keterbatasan akal manusia tidak sanggup
menjangkaunya. Dan tentunya peristiwa ini terjadi di luar hukum alam. Itulah
mu’jizat yang Allah berikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Isra’, perjalanan Rasulullah dari Masjidil Haram ke Baitul Maqdis.
Secara normal waktu yang dibutuhkan di kala itu perjalanan dari Masjidil Haram
ke Baitul Maqdis lebih dari satu hari satu malam, mengingat jarak kedua tempat
sekitar 1.500 km. Miraj adalah perjalanan Rasulullah dari Baitul Maqdis ke Sidratul
Muntaha. Secara normal, tidaklah mungkin perjalanan yang jika ditempuh
dengan kecepatan cahaya membutuhkan waktu sekian juta tahun, akan tetapi dapat
ditempuh dalam semalam saja. Itulah mu’jizat, apa yang seakan tidak mungkin
terjadi, dengan seizin Allah dapat dengan mudah terjadi.
Dalam sebuah buku best seller Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri, beliau
menuliskan bahwa Ibnul-Qayyim berkata, “Menurut riwayat yang shahih, Rasulullah
diisra’kan dengan jasadnya. Dari Masjidil Haram ke Baitul Maqdis dengan
menaiki Buraq disertai Jibril, lalu turun dan salat mengimami para nabi yang
lain. Sementara tali Buraq diikat pada tali pintu masjid.” Dalam karya yang
sama pula disebutkan pada malam itu pula beliau melakukan perjalanan dari
Baitul Maqdis naik ke langit dunia berjumpa dengan Nabi Adam, melanjutkan ke
langit kedua melihat Yahya bin Zakaria
dan Isa bin Maryam, ke langit ketiga melihat Yusuf, langit ke empat melihat
Idris, langit kelima melihat Harun bin Imran, langit ke enam melihat Musa bin
Imran, langit ke tujuh melihat Ibrahim, ke Sidratul Muntaha lalu naik
lagi ke Baitul Ma’mur. Lalu dibawa naik lagi menghadap Allah Yang Maha
Perkasa dan Allah memberikan kewajiban salat lima waktu dari yang semulanya
lima puluh kali.
Menurut Syaikh Rawwas Qal Ahji dalam Sirah Nabawiyah Sisi Politis
Perjuangan Rasulullah dilihat dari dimensi politik, dalam peristiwa Isra'
Mi'raj terkandung isyarat peralihan kepemimpinan. Dunia yang semula di bawah
kekuasaan Bani Israil, kemudian beralih di bawah kekuasaan umat Muhammad Saw.
Seperti diketahui, kepemimpinan dunia hingga terjadinya peristiwa Isra' Mi'raj
di bawah kepemimpinan Bani Israil, sebab agama samawi yang masih ada adalah
Yahudi dan Nasrani. Namun umat terdahulu tak mampu menjaga kemurnian ajaran
agamanya dan mendistorsi ajaran agama mereka sendiri.
Qal'ahji kemudian menunjukkan isyarat-isyarat yang menunjukkan
perpindahan estafet kepemimpinan dunia itu dalam Isra' Mi'raj. Dalam peristiwa
Isra', Rasulullah diperjalankan oleh Allah SWT dari Masjidil Haram ke Masjidil
Aqsha salat bersama para nabi dan Rasulullah Saw tampil sebagai imam. Di belakang
Rasululah Saw adalah para makmum yang terdiri dari nabi-nabi,. Dari peristiwa
tersebut, ada isyarat kepemimpinan umat Islam. Pencabutan kepemimpinan Bani
Israil yang selanjutnya diberikan kepada umat Muhammad Saw. Peralihan
kepemimpinan ini bukanlah peralihan yang sembarangan. Melainkan peralihan yang
absah alias konstitusional.
Hal menarik lain yang dikemukakan Qal'ahji, bahwa dengan peristiwa
itu, berarti Masjidil Aqsha akan menjadi milik umat Islam. Karena dalam salat
jamaah yang dilakukan di suatu tempat, yang paling berhak menjadi imam adalah
pemilik tempat itu. Jadi, karena yang menjadi imam adalah Rasululah artinya
beliaulah yang menjadi pemilik Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha).
Dari dimensi sosial menurut Qal Ahji, salat beliau dengan para
nabi, padahal mereka berbeda kebangsaannya dan warna kulitnya. Hal ini mengandung
arti bahwa Islam akan menaungi semua kaum mukminin. Tiada membedakan antara
kulit hitam maupun kulit putih, antara bangsa Arab dan non Arab. Semua bangsa
dilebur dalam wadah keimanan.
Dari dimensi spiritual menurut Qal Ahji bahwa peristiwa Isra Mi’raj terjadi setelah
serentetan peristiwa meninggalnya Abu Thalib, di susul kepergian sang istri Ibu
Khadijah, maka seakan Allah berfirman: “Wahai Muhammad, sesungguhnya masa
depan milikmu dan umatmu sesudahmu,
sehingga batas negaramu akan melewati Baitul Maqdis, begitu pula warisan agama
terdahulu berada di pundakmu.” Sambil salat di belakang Rasulullah, para
Rasul seakan berkata: “Pergilah menuju Tuhanmu. Doa kami selalu bersamamu.”
Seolah-olah malaikat pun berkata: “Jika bumi terasa sempit olehmu, maka
langit akan membuka dadanya untukmu. Jika orang-orang bodoh dan zalim diantara
penduduk bumi menyakitimu, maka penduduk langit telah berdiri menyambutmu.”
Allahu A’lam.
By AMM, Dimuat di Radar Bojonegoro 24 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar