IRONI PELAYANAN KESEHATAN

IRONI PELAYANAN KESEHATAN
LOMBA MENULIS BLOG FPKR

Jumat, 06 Desember 2013

JANGAN MENCELA

JANGAN MENCELA...

Sebagian orang mengira bahwa bila dia mencela orang lain karena kesalahannya yang kadang kesalahan itu kecil, atau bahkan perlu “kaca pembesar” untuk melihatnya... dia mengira telah menjadi dekat dengan orang tersebut... atau dia telah memperbaiki kepribadian orang tersebut.

Padahal sebenarnya, bukanlah suatu kecerdasan dan keahlian bila kita berhasil mencela orang lain... justru kecerdasan yang sebenarnya adalah disaat kita mampu menghindarkan celaan tersebut... berusaha memperbaiki orang lain tanpa melukai... dan memperbaikinya tanpa harus tersinggung... atau bahkan kadang perlu bersikap pura-pura buta... terutama tentang hal-hal yang rendahan dan hak-hak privasi.

“Bukanlah orang bodoh yang akan menjadi pemimpin kaum
Tetapi pemimpin kaum adalah orang yang pura-pura bodoh”.

Hal ini karena orang yang dicela merasa celaan itu sebuah anak panah yang tajam yang diarahkan kepadanya... karena dia merasa telah dibulli... ini pertama...
Kedua karena nasehat mesti dijauhkan dari hadapan publik dan orang ramai.

“Silakan sengaja menasehatiku dalam kesendirian
Tapi, jauhi nasehat di depan orang ramai.
Karena sesungguhnya nasehat di depan orang ramai
Adalah salah satu bentuk penghinaan yang aku tak terima”.

Bahkan bila seandainya sebuah kesalahan telah menyebar... dan terpaksa harus diberikan nasehat umum dan di depan publik... maka gunakanlah kaedah: “Kenapa orang-orang melakukan ini dan itu.... “ seperti cara Rasulullah menegur tanpa menyebut namanya...

Begitulah... celaan bagaikan sebuah cemeti yang dicambukkan ke punggung orang yang dicela... sangat menyakitkan...

Sebagian orang membuat orang lain menjadi lari karena mencelanya... atau ada orang yang mencela dan memaki sesuatu yang sudah terjadi dan tidak bisa di tarik ulang kembali. Artinya, celaan itu tidak akan merubah situasi sama sekali, tidak menambah atau menguranginya.

Pernah terjadi di suatu kota... seorang lelaki yang “kurang mampu” bekerja sebagai sopir truk. Bepergian jauh dengan truknya meninggalkan istri dan anak-anaknya. Hari itu dia sangat letih, tetapi dia tetap terus mengemudi truk tersebut. Jalanan yang panjang dan relatif lurus membuat kantuknya semakin berat. Dia berusaha terus melawan kantuknya, tapi tak mampu. Dan akhirnya ia tertidur sekejap, tapi truknya melaju tanpa kendali dan menabrak sebuah sedan kecil yang berisi 3 penumpang... braaak!!! benturan keras kedua mobil tersebut membangunkan sang sopir dari kantuknya.

Truk segera dihentikannya... sedan kecil terguling-guling dan remuk kena hantaman truk yang melaju kencang tersebut. Sopir truk turun melompat dan berlari menuju sedan yang remuk itu. Namun apa daya, ketiga penumpang sedan tewas bersimbah darah...

Orang-orang ramai berdatangan... menolong para korban... dan memanggil ambulan. Sang sopir terduduk di tanah menunggu datangnya ambulan. Dia termenung.. kedua tangannya menutup muka dan meremas rambutnya... dia memikirkan apa yang akan menimpa dirinya setelah tabrakan ini... penjara dan membayar diyat tiga nyawa... terbayang istri... anak-anaknya yang menunggu sesuap nasi setiap hari... miskiiin.... masalah besar bagaikan sebuah gunung telah menghimpit kepalanya...

Orang-orang disekitarnya menghampirinya... mencelanya... memarahinya... bahkan ada yang memakinya. Apakah sekarang saatnya memaki? Tidak mungkinkah ditunda sebentar?

Salah seorang berkata: “Kenapa anda kencang sekali tadi? Inilah akibatnya...”
Yang satu lagi berkata: “Kamu pasti tadi mengantuk.. tapi kenapa tidak berhenti untuk istirahat dan tidur sejenak..?”. Sopir tersebut mengangguk-anggukan kepalanya. Namun dia semakin tertunduk. Perasaan bersalahnya semakin memuncak...
Ada pula yang emosi: “Anda tidak layak mendapatkan SIM?.. sangat fatal telah menghilangkan nyawa orang...”

Semua berkomentar dengan nada tajam dan suara meninggi... sopir itu semakin kalut dan terduduk lesu penuh penyesalan... kedua tangannya meremas rambut dan wajahnya... tiba-tiba dia jatuh... tumbang terkapar ke tanah... dan mati seketika...

Mereka telah membunuhnya dengan makian dan celaan. Kalau bersabar sesaat mungkin situasi akan lebih baik... Cobalah seandainya kita yang berada dalam posisi dan situasi sopir tadi, mungkin kita akan melakukan kesalahan yang lebih besar...

Rasulullah saw sebagai teladan kita dalam kehidupan, sangat menjaga hal-hal yang seperti ini. Perhatikan kejadian ini...

Rasulullah saw besama sahabat pulang dari perang khaibar... mereka berjalan sangat jauh... sehingga mereka sangat letih... ketika malam telah tiba, mereka berhenti disebuah tempat untuk istirahat dan tidur. Maka Rasulullah saw bertanya: “Siapa yang bersedia berjaga malam ini agar membangunkan kita pada waktu shubuh?”.
Dengan bersemangat Bilal menjawab: “Saya yaa Rasulallah... saya bangunkan Anda nanti”.

Maka Rasulullah saw dan para sahabat berbaring... semuanya tertidur lelap saking letihnya...
Bilal berjaga dan kemudian shalat malam sampai letih sekali... Dia duduk bersandar ke perut ontanya... dan diapun tertidur lelap sampai lewat waktu shubuh. Semua tidur dengan nyenyak dan tidak terbangun kecuali setelah cahaya matahari menimpa wajah mereka.

Rasulullah terbangun dan begitu juga para sahabat. Mereka kalang-kabut melihat matahari yang mulai tinggi. Semua menatap tajam ke arah Bilal. Rasulullah pun menoleh kepada Bilal dan berkata: “Apa yang engkau perbuat kepada kami, wahai Bilal?”.

Bilal menjawab dengan ringkas... tapi sangat menjelaskan kejadian yang sebenarnya... Dia berkata: “Wahai Rasulullah... Jiwaku telah tertimpa apa telah menimpa jiwa Anda...”
Artinya saya juga manusia... saya sudah berusaha melawan kantuk... tapi gak berhasil juga. Saya dikalahkan kantuk sebagaimana juga kalian dikalahkannya...

Rasulullah saw pun berkata: “Engkau benar...”, lalu Beliau diam. Karena tidak ada gunanya mencela atau memaki.

Ketika Rasulullah melihat para sahabat agak ribut dan gelisah, Beliau intruksikan para sahabat: “Ayo semua jalan...!!”. Maka mereka semua berjalan. Tidak beberapa jauh jaraknya, mereka berhenti... lalu berwudhu’ dan Rasulullah shalat mengimami mereka. Setelah salam, Rasulullah menghadap ke arah mereka dan berkata: “Apabila kalian lupa shalat... maka shalatlah ketika kalian teringat...!”.

Betapa bijak dan arifnya Rasulullah menyikapi situasi tersebut. Dialah guru bagi seluruh pemimpin (sebelum rakyat). Pemimpin saat ini hampir tidak ada yang menghindari makian dan celaan bagi bawahannya yang bersalah. Sementara, Rasulullah saw yang mulia memposisikan dirinya diposisi bawahannya... berfikir dengan akal fikiran mereka... berinteraksi dengan hati sebelum dengan jasad... menyadari betul bahwa mereka adalah manusia bukan mesin... juga bukan malaikat...

Itulah sikap seseorang yang berada di atas kepada orang yang berada di bawahnya, apatah lagi kalau kita sejajar... sama-sama posisi... teman sejawat… sesama da’i dan pejuang di jalan Allah, tentu akan lebih wajib lagi untuk menjaga lidah dan sikap. Terlebih lagi kalau kita yang di bawah kepada orang yang di atas... kepada yang lebih tua, atau lebih senior, atau bahkan kepada para ulama... menjadi wajib “kuadrat” untuk bersikap santun dan berkata sopan…

Wallahu A’laa wa A’lam bishshawab.
(Dari tulisan Syekh DR Muhammad Abdurrahman Al ‘Uraifi – استمتع بحياتك

Tidak ada komentar:

Posting Komentar