JANGAN MENCELA...
Sebagian orang mengira bahwa bila dia mencela orang lain karena
kesalahannya yang kadang kesalahan itu kecil, atau bahkan perlu “kaca
pembesar” untuk melihatnya... dia mengira telah menjadi dekat dengan
orang tersebut... atau dia telah memperbaiki kepribadian orang tersebut.
Padahal sebenarnya, bukanlah suatu kecerdasan dan keahlian bila kita berhasil mencela orang lain... justru
kecerdasan yang sebenarnya adalah disaat kita mampu menghindarkan
celaan tersebut... berusaha memperbaiki orang lain tanpa melukai... dan
memperbaikinya tanpa harus tersinggung... atau bahkan kadang perlu
bersikap pura-pura buta... terutama tentang hal-hal yang rendahan dan
hak-hak privasi.
“Bukanlah orang bodoh yang akan menjadi pemimpin kaum
Tetapi pemimpin kaum adalah orang yang pura-pura bodoh”.
Hal ini karena orang yang dicela merasa celaan itu sebuah anak panah
yang tajam yang diarahkan kepadanya... karena dia merasa telah
dibulli... ini pertama...
Kedua karena nasehat mesti dijauhkan dari hadapan publik dan orang ramai.
“Silakan sengaja menasehatiku dalam kesendirian
Tapi, jauhi nasehat di depan orang ramai.
Karena sesungguhnya nasehat di depan orang ramai
Adalah salah satu bentuk penghinaan yang aku tak terima”.
Bahkan bila seandainya sebuah kesalahan telah menyebar... dan terpaksa
harus diberikan nasehat umum dan di depan publik... maka gunakanlah
kaedah: “Kenapa orang-orang melakukan ini dan itu.... “ seperti cara
Rasulullah menegur tanpa menyebut namanya...
Begitulah... celaan bagaikan sebuah cemeti yang dicambukkan ke punggung orang yang dicela... sangat menyakitkan...
Sebagian orang membuat orang lain menjadi lari karena mencelanya...
atau ada orang yang mencela dan memaki sesuatu yang sudah terjadi dan
tidak bisa di tarik ulang kembali. Artinya, celaan itu tidak akan
merubah situasi sama sekali, tidak menambah atau menguranginya.
Pernah terjadi di suatu kota... seorang lelaki yang “kurang mampu”
bekerja sebagai sopir truk. Bepergian jauh dengan truknya meninggalkan
istri dan anak-anaknya. Hari itu dia sangat letih, tetapi dia tetap
terus mengemudi truk tersebut. Jalanan yang panjang dan relatif lurus
membuat kantuknya semakin berat. Dia berusaha terus melawan kantuknya,
tapi tak mampu. Dan akhirnya ia tertidur sekejap, tapi truknya melaju
tanpa kendali dan menabrak sebuah sedan kecil yang berisi 3 penumpang...
braaak!!! benturan keras kedua mobil tersebut membangunkan sang sopir
dari kantuknya.
Truk segera dihentikannya... sedan kecil
terguling-guling dan remuk kena hantaman truk yang melaju kencang
tersebut. Sopir truk turun melompat dan berlari menuju sedan yang remuk
itu. Namun apa daya, ketiga penumpang sedan tewas bersimbah darah...
Orang-orang ramai berdatangan... menolong para korban... dan memanggil
ambulan. Sang sopir terduduk di tanah menunggu datangnya ambulan. Dia
termenung.. kedua tangannya menutup muka dan meremas rambutnya... dia
memikirkan apa yang akan menimpa dirinya setelah tabrakan ini... penjara
dan membayar diyat tiga nyawa... terbayang istri... anak-anaknya yang
menunggu sesuap nasi setiap hari... miskiiin.... masalah besar bagaikan
sebuah gunung telah menghimpit kepalanya...
Orang-orang
disekitarnya menghampirinya... mencelanya... memarahinya... bahkan ada
yang memakinya. Apakah sekarang saatnya memaki? Tidak mungkinkah ditunda
sebentar?
Salah seorang berkata: “Kenapa anda kencang sekali tadi? Inilah akibatnya...”
Yang satu lagi berkata: “Kamu pasti tadi mengantuk.. tapi kenapa tidak
berhenti untuk istirahat dan tidur sejenak..?”. Sopir tersebut
mengangguk-anggukan kepalanya. Namun dia semakin tertunduk. Perasaan
bersalahnya semakin memuncak...
Ada pula yang emosi: “Anda tidak layak mendapatkan SIM?.. sangat fatal telah menghilangkan nyawa orang...”
Semua berkomentar dengan nada tajam dan suara meninggi... sopir itu
semakin kalut dan terduduk lesu penuh penyesalan... kedua tangannya
meremas rambut dan wajahnya... tiba-tiba dia jatuh... tumbang terkapar
ke tanah... dan mati seketika...
Mereka telah membunuhnya
dengan makian dan celaan. Kalau bersabar sesaat mungkin situasi akan
lebih baik... Cobalah seandainya kita yang berada dalam posisi dan
situasi sopir tadi, mungkin kita akan melakukan kesalahan yang lebih
besar...
Rasulullah saw sebagai teladan kita dalam kehidupan, sangat menjaga hal-hal yang seperti ini. Perhatikan kejadian ini...
Rasulullah saw besama sahabat pulang dari perang khaibar... mereka
berjalan sangat jauh... sehingga mereka sangat letih... ketika malam
telah tiba, mereka berhenti disebuah tempat untuk istirahat dan tidur.
Maka Rasulullah saw bertanya: “Siapa yang bersedia berjaga malam ini
agar membangunkan kita pada waktu shubuh?”.
Dengan bersemangat Bilal menjawab: “Saya yaa Rasulallah... saya bangunkan Anda nanti”.
Maka Rasulullah saw dan para sahabat berbaring... semuanya tertidur lelap saking letihnya...
Bilal berjaga dan kemudian shalat malam sampai letih sekali... Dia
duduk bersandar ke perut ontanya... dan diapun tertidur lelap sampai
lewat waktu shubuh. Semua tidur dengan nyenyak dan tidak terbangun
kecuali setelah cahaya matahari menimpa wajah mereka.
Rasulullah terbangun dan begitu juga para sahabat. Mereka kalang-kabut
melihat matahari yang mulai tinggi. Semua menatap tajam ke arah Bilal.
Rasulullah pun menoleh kepada Bilal dan berkata: “Apa yang engkau
perbuat kepada kami, wahai Bilal?”.
Bilal menjawab dengan
ringkas... tapi sangat menjelaskan kejadian yang sebenarnya... Dia
berkata: “Wahai Rasulullah... Jiwaku telah tertimpa apa telah menimpa
jiwa Anda...”
Artinya saya juga manusia... saya sudah berusaha
melawan kantuk... tapi gak berhasil juga. Saya dikalahkan kantuk
sebagaimana juga kalian dikalahkannya...
Rasulullah saw pun berkata: “Engkau benar...”, lalu Beliau diam. Karena tidak ada gunanya mencela atau memaki.
Ketika Rasulullah melihat para sahabat agak ribut dan gelisah, Beliau
intruksikan para sahabat: “Ayo semua jalan...!!”. Maka mereka semua
berjalan. Tidak beberapa jauh jaraknya, mereka berhenti... lalu
berwudhu’ dan Rasulullah shalat mengimami mereka. Setelah salam,
Rasulullah menghadap ke arah mereka dan berkata: “Apabila kalian lupa
shalat... maka shalatlah ketika kalian teringat...!”.
Betapa
bijak dan arifnya Rasulullah menyikapi situasi tersebut. Dialah guru
bagi seluruh pemimpin (sebelum rakyat). Pemimpin saat ini hampir tidak
ada yang menghindari makian dan celaan bagi bawahannya yang bersalah.
Sementara, Rasulullah saw yang mulia memposisikan dirinya diposisi
bawahannya... berfikir dengan akal fikiran mereka... berinteraksi dengan
hati sebelum dengan jasad... menyadari betul bahwa mereka adalah
manusia bukan mesin... juga bukan malaikat...
Itulah sikap
seseorang yang berada di atas kepada orang yang berada di bawahnya,
apatah lagi kalau kita sejajar... sama-sama posisi... teman sejawat…
sesama da’i dan pejuang di jalan Allah, tentu akan lebih wajib lagi
untuk menjaga lidah dan sikap. Terlebih lagi kalau kita yang di bawah
kepada orang yang di atas... kepada yang lebih tua, atau lebih senior,
atau bahkan kepada para ulama... menjadi wajib “kuadrat” untuk bersikap
santun dan berkata sopan…
Wallahu A’laa wa A’lam bishshawab.
(Dari tulisan Syekh DR Muhammad Abdurrahman Al ‘Uraifi – استمتع بحياتك
Tidak ada komentar:
Posting Komentar