IRONI PELAYANAN KESEHATAN

IRONI PELAYANAN KESEHATAN
LOMBA MENULIS BLOG FPKR

Minggu, 19 Mei 2013

MEMBACA ULANG SEJARAH KEBANGKITAN NASIONAL


MEMBACA ULANG SEJARAH KEBANGKITAN NASIONAL
Tepatnya tanggal 20 Mei negeri  kita tercinta Indonesia memperingati hari Kebangkitan Nasional. Berkenaan dengan didirikannya organisasi Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 oleh Dr. Sutomo dan para mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen). Padahal kenyataan sebenarnya tidaklah seperti itu. BO tidak bisa disebut sebagai organisasi yang menggagas, apalagi menggerakkan kebangkitan. Menurut Savitri Scherer dalam thesisnya di Universitas Cornell, Amerika Serikat pada tahun 1975, Boedi Oetomo hanyalah sebuah gerakan sosial bagi kepentingan kelompok priyayi non birokrat yang bersifat lokal dan rasis (Savitri Prasisiti Scherer, “Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Abad XX”, Terjemahan Jiman S. Rumbo, Jakarta: Sinar Harapan, 1985). Pasal 2 Anggaran Dasar Boedi Oetomo menyebut: Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis. Karena itu, banyak pengamat sejarah yang menolak penyematan Boedi Oetomo sebagai pelopor kebangkitan nasional. Pelaku dan penulis sejarah, KH Firdaus AN, misalnya, dengan tegas mengungkap, “Tidak pernah sekalipun rapat Boedi Oetomo membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri.”
Menurut KH Firdaus AN, Boedi Oetomo tidak memiliki andil sedikit pun dalam perjuangan kemerdekaan, karena mereka terdiri dari para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan atas Indonesia. Boedi Oetomo tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemerdekaan, karena telah lebih dulu bubar pada tahun 1935. Lalu siapa yang layak disebut sebagai sebagai penggerak kebangkitan dan kesadaran perlawanan terhadap penjajah Belanda? Itulah Sarikat Islam (SI). keanggotan SI berbeda dengan BO yang hanya untuk suku tertentu. SI terbuka bagi seluruh rakyat Indonesia. Haji Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumatera Barat dan AM. Sangaji dari Maluku. Penyebaran SI juga menasional. Tahun 1916 tercatat ada 181 cabang SI di seluruh Indonesia dengan sekitar 700.000 anggota. Tahun 1919 anggota SI melonjak drastis hingga 2 juta orang. Ini adalah angka yang fantastis kala itu. Adapun Boedi Oetomo pada masa jayanya saja hanya beranggotakan tak lebih dari 10.000 orang.
Jadi, SI-lah pelopor yang sebenarnya dari kebangkitan yang bersifat nasional. Lalu mengapa sejarah menempatkan Boedi Oetomo sebagai pelopor? Dari sini terlihat kecenderungan adanya usaha peminggiran Islam atau bahkan menghilangkan spirit Islam dari perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia.
Umat Islam memiliki peran sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan dalam menumbuhkan kebangkitan. Peperangan yang terjadi pada abad ke-19 melawan penjajah Belanda selalu bernafaskan jihad. Ketika Pangeran Diponegoro memanggil sukarelawan, kebanyakan dari mereka yang tergugah adalah para ulama dan ustadz dari berbagai pelosok desa. Pemberontakan petani menentang penindasan yang berlangsung terus-menerus sepanjang masa penjajahan selalu di bawah bendera Islam. Demikian pula perlawanan yang dilakukan oleh Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar dan diteruskan oleh Cut Nyak Dien dari tahun 1873-1906 adalah jihad melawan Belanda.
Dalam proses kemerdekaan pun, peran umat sangatlah sentral. Di sana terdapat tokoh-tokoh umat seperti KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, KH Kahar Muzakkir dan lainnya yang menjadi anggota BPUPKI dan PPKI. Mereka bukan sekadar menginginkan Indonesia merdeka, tetapi juga gigih memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Setelah kemerdekaan, peran umat Islam juga tetap sentral. Resolusi Jihad yang didengungkan oleh KH Hasyim Asy’ari menggetarkan pasukan NICA-Belanda yang ingin masuk lagi ke Indonesia dengan membonceng pasukan sekutu. Resolusi ini juga menjadi tonggak penting bagi pembentukan TNI melalui Hizbullah yang asalnya terdiri dari para santri dan ulama.
Demikian “kejam” sejarah meminggirkan peran umat Islam. Bahkan Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari yang sangat fenomenal itu tidak tertulis sama sekali dalam sejarah nasional. Ini sangat aneh, karena sesungguhnya tidak pernah ada perlawanan Bung Tomo di Surabaya, yang kemudian dicatat sebagai Hari Pahlawan, tanpa Resolusi Jihad. Resolusi inilah yang mendorong Bung Tomo dan para pemuda Surabaya ketika itu berani bergerak melawan Belanda.
Yang kita baca sekarang dalam buku-buku sejarah bukanlah fakta sejarah, tetapi perumusan terhadap fakta sejarah pada masa lalu. Sejarah sangat bergantung pada siapa yang merumuskan atau menuliskan dan atas dasar kepentingan apa sejarah itu ditulis. Karena itu, sejarah sesungguhnya sangat bergantung pada lingkup politik yang dominan saat sejarah itu ditulis. Tentu bukan sebuah kebetulan belaka ketika sejarah Kebangkitan Nasional didasarkan pada kelahiran Boedi Oetomo, bukan Sarikat Islam, yang sejatinya tidaklah tepat untuk dijadikan tonggak sejarah penting itu. Ini sebagaimana Hari Pendidikan Nasional yang bukan didasarkan pada kelahiran Muhammadiyah dengan sekolah pertama yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan, berbelas tahun sebelum Ki Hadjar mendirikan Taman Siswa. Sebab, bila itu dilakukan maka yang akan tersembul adalah spirit atau semangat Islam. Dalam setting politik penguasa, itu tidak dikehendaki.
Tokoh-tokoh umat pada masa lalu, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan Indonesia, sangat memahami bahwa setiap Muslim mempunyai kewajiban dalam amar makruf nahi mungkar, perjuangan mengusir penjajah dan menegakkan ‘izzul Islam wal Muslimin. Pangeran Diponegoro dan Cut Nyak Dien ketika melawan Belanda, KH Hasyim Asy’ari dengan Resolusi Jihad-nya, KH Wahid Hasyim dengan perjuangan untuk Islam sebagai dasar negara, KH Ahmad Dahlan untuk perjuangan pentingnya pendidikan Islami, atau para pahlawan terdahulu lainnya yang semua berjuang dengan spirit Islam.
Oleh karena itu, kinilah saatnya membaca ulang sejarah kebangkitan nasional, sejarah pendidikan nasional dan sejarah nasional lainnya secara kritis dan obyektif. Sejarah sebagaimana kisah dalam al-Quran, mengandung ibrah atau pelajaran. Penyimpangan atau penutupan sejarah dari fakta yang sebenarnya tentu akan menutupi ibrah yang mestinya didapat, yakni spirit Islam dalam perjuangan negeri ini.

By: Anna Mujahidah Mumtazah, 
Bojonegoro, 20 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar