MEMBACA
ULANG SEJARAH KEBANGKITAN NASIONAL
Tepatnya
tanggal 20 Mei negeri kita tercinta
Indonesia memperingati hari Kebangkitan Nasional. Berkenaan dengan didirikannya
organisasi Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 oleh Dr. Sutomo dan para
mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen). Padahal kenyataan
sebenarnya tidaklah seperti itu. BO tidak bisa disebut sebagai organisasi yang
menggagas, apalagi menggerakkan kebangkitan. Menurut Savitri Scherer dalam
thesisnya di Universitas Cornell, Amerika Serikat pada tahun 1975, Boedi Oetomo
hanyalah sebuah gerakan sosial bagi kepentingan kelompok priyayi non birokrat
yang bersifat lokal dan rasis (Savitri Prasisiti Scherer, “Keselarasan dan
Kejanggalan: Pemikiran-pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Abad XX”, Terjemahan
Jiman S. Rumbo, Jakarta: Sinar Harapan, 1985). Pasal 2 Anggaran Dasar Boedi
Oetomo menyebut: Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan
tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis. Karena itu, banyak pengamat
sejarah yang menolak penyematan Boedi Oetomo sebagai pelopor kebangkitan
nasional. Pelaku dan penulis sejarah, KH Firdaus AN, misalnya, dengan tegas
mengungkap, “Tidak pernah sekalipun rapat Boedi Oetomo membahas tentang
kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas
bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah
pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri.”
Menurut
KH Firdaus AN, Boedi Oetomo tidak memiliki andil sedikit pun dalam perjuangan
kemerdekaan, karena mereka terdiri dari para pegawai negeri yang digaji Belanda
untuk mempertahankan penjajahan atas Indonesia. Boedi Oetomo tidak pula turut
serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemerdekaan, karena telah lebih
dulu bubar pada tahun 1935. Lalu siapa yang layak disebut sebagai sebagai
penggerak kebangkitan dan kesadaran perlawanan terhadap penjajah Belanda?
Itulah Sarikat Islam (SI). keanggotan SI berbeda dengan BO yang hanya untuk
suku tertentu. SI terbuka bagi seluruh rakyat Indonesia. Haji Samanhudi dan HOS
Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis
dari Sumatera Barat dan AM. Sangaji dari Maluku. Penyebaran SI juga menasional.
Tahun 1916 tercatat ada 181 cabang SI di seluruh Indonesia dengan sekitar
700.000 anggota. Tahun 1919 anggota SI melonjak drastis hingga 2 juta orang.
Ini adalah angka yang fantastis kala itu. Adapun Boedi Oetomo pada masa jayanya
saja hanya beranggotakan tak lebih dari 10.000 orang.
Jadi,
SI-lah pelopor yang sebenarnya dari kebangkitan yang bersifat nasional. Lalu
mengapa sejarah menempatkan Boedi Oetomo sebagai pelopor? Dari sini terlihat
kecenderungan adanya usaha peminggiran Islam atau bahkan menghilangkan spirit
Islam dari perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia.
Umat
Islam memiliki peran sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan
dalam menumbuhkan kebangkitan. Peperangan yang terjadi pada abad ke-19 melawan
penjajah Belanda selalu bernafaskan jihad. Ketika Pangeran Diponegoro memanggil
sukarelawan, kebanyakan dari mereka yang tergugah adalah para ulama dan ustadz
dari berbagai pelosok desa. Pemberontakan petani menentang penindasan yang
berlangsung terus-menerus sepanjang masa penjajahan selalu di bawah bendera
Islam. Demikian pula perlawanan yang dilakukan oleh Tengku Cik Di Tiro, Teuku
Umar dan diteruskan oleh Cut Nyak Dien dari tahun 1873-1906 adalah jihad
melawan Belanda.
Dalam
proses kemerdekaan pun, peran umat sangatlah sentral. Di sana terdapat
tokoh-tokoh umat seperti KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, KH Kahar
Muzakkir dan lainnya yang menjadi anggota BPUPKI dan PPKI. Mereka bukan sekadar
menginginkan Indonesia merdeka, tetapi juga gigih memperjuangkan Islam sebagai
dasar negara. Setelah kemerdekaan, peran umat Islam juga tetap sentral. Resolusi
Jihad yang didengungkan oleh KH Hasyim Asy’ari menggetarkan pasukan
NICA-Belanda yang ingin masuk lagi ke Indonesia dengan membonceng pasukan
sekutu. Resolusi ini juga menjadi tonggak penting bagi pembentukan TNI melalui
Hizbullah yang asalnya terdiri dari para santri dan ulama.
Demikian
“kejam” sejarah meminggirkan peran umat Islam. Bahkan Resolusi Jihad KH Hasyim
Asy’ari yang sangat fenomenal itu tidak tertulis sama sekali dalam sejarah
nasional. Ini sangat aneh, karena sesungguhnya tidak pernah ada perlawanan Bung
Tomo di Surabaya, yang kemudian dicatat sebagai Hari Pahlawan, tanpa Resolusi
Jihad. Resolusi inilah yang mendorong Bung Tomo dan para pemuda Surabaya ketika
itu berani bergerak melawan Belanda.
Yang
kita baca sekarang dalam buku-buku sejarah bukanlah fakta sejarah, tetapi
perumusan terhadap fakta sejarah pada masa lalu. Sejarah sangat bergantung pada
siapa yang merumuskan atau menuliskan dan atas dasar kepentingan apa sejarah
itu ditulis. Karena itu, sejarah sesungguhnya sangat bergantung pada lingkup
politik yang dominan saat sejarah itu ditulis. Tentu bukan sebuah kebetulan
belaka ketika sejarah Kebangkitan Nasional didasarkan pada kelahiran Boedi
Oetomo, bukan Sarikat Islam, yang sejatinya tidaklah tepat untuk dijadikan
tonggak sejarah penting itu. Ini sebagaimana Hari Pendidikan Nasional yang
bukan didasarkan pada kelahiran Muhammadiyah dengan sekolah pertama yang
didirikan oleh KH Ahmad Dahlan, berbelas tahun sebelum Ki Hadjar mendirikan
Taman Siswa. Sebab, bila itu dilakukan maka yang akan tersembul adalah spirit
atau semangat Islam. Dalam setting politik penguasa, itu tidak dikehendaki.
Tokoh-tokoh
umat pada masa lalu, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan Indonesia, sangat
memahami bahwa setiap Muslim mempunyai kewajiban dalam amar makruf nahi
mungkar, perjuangan mengusir penjajah dan menegakkan ‘izzul Islam wal Muslimin.
Pangeran Diponegoro dan Cut Nyak Dien ketika melawan Belanda, KH Hasyim Asy’ari
dengan Resolusi Jihad-nya, KH Wahid Hasyim dengan perjuangan untuk Islam
sebagai dasar negara, KH Ahmad Dahlan untuk perjuangan pentingnya pendidikan
Islami, atau para pahlawan terdahulu lainnya yang semua berjuang dengan spirit
Islam.
Oleh
karena itu, kinilah saatnya membaca ulang sejarah kebangkitan nasional, sejarah
pendidikan nasional dan sejarah nasional lainnya secara kritis dan obyektif.
Sejarah sebagaimana kisah dalam al-Quran, mengandung ibrah atau pelajaran.
Penyimpangan atau penutupan sejarah dari fakta yang sebenarnya tentu akan
menutupi ibrah yang mestinya didapat, yakni spirit Islam dalam perjuangan
negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar