Kata pahlawan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari dua kata (b. sansekerta): pahla dan wan. Pahla berarti buah, sedangkan wan
adalah sebutan bagi orangnya (bersangkutan). Dalam sejarah perjuangan
bangsa Indonesia kita dapatkan gelar pahlawan yang tertambatkan kepada
Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Sultan Hasanudin, KH Ahmad Dahlan,
Tuanku Imam Bonjol dan lainnya. Berdasarkan sejarah, perjuangan mereka
dilandasi semangat nasionalisme. Namun, jika dikaji lebih dalam,
perjuangan para pahlawan itu bukanlah karena semangat nasionalisme,
tetapi karena semangat berjihad fi sabilillah. Para pahlawan sadar bahwa
penjajahan dan penindasan orang-orang kafir atas umat Islam wajib
dilawan. Karena itulah mereka merelakan jiwa, raga, pikiran untuk
perjuangan suci ini.
Di
era Kapitalisme ini, makna pahlawan seakan menjadi ambigu. Sebagai
contoh, versi kaum liberal, para pejuang sepilis (sekulerisme,
pluralisme, liberalisme) mereka nobatkan sebagai pahlawan. Perjuangan
mereka mendapat dukungan dari para musuh Islam. Siang-malam mereka
menggencarkan opini sepilis hanya demi iming-iming materi (uang). Di
sisi lain, mereka menganggap teroris kaum Muslim yang memperjuangkan
syariah Islam. Para pejuang syariah Islam sering disebut sebagai
kalangan Islam radikal. Lalu yang manakah yang sejatinya layak disebut
pahlawan? Pejuang sepilis, nasionalisme, ataukah pejuang syariah Islam?
Dalam hal ini, Rasulullah saw. bersabda, “Bukan
dari golongan kami siapa saja yang mengajak pada ‘ashabiyah, bukan pula
dari golongan kami orang yang berperang karena ‘ashabiyah, dan tidak
juga termasuk golongan kami orang yang mati karena ashabiyah.” (HR Abu
Dawud).
Sebaliknya,
dalam Islam pahlawan adalah mereka yang menyeru agar umat masuk Islam
secara keseluruhan, berjuang di jalan Allah, menaati perintah-Nya secara
totalitas; bukan mereka yang menyeru hukum manusia. Perjuangan itu
bukan berlandaskan golongan, suku, nasionalisme; tetapi karena dorongan
akidah (agama). Jika para sepilis dan nasionalis begitu getol
memperjuangkan sepilis-nasionalismenya
hanya karena materi, maka pejuang syariah Islam tentu harus lebih
gencar dan semangat karena balasan yang kekal (ridha Allah dengan
surga-Nya). WalLahu ‘alam. [Anna Mujahidah; Guru di Bojonegoro Jatim]
dimuat di Al Waie edisi November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar